Kamis, 12 November 2009

CAFTA

ASEAN Summit ke-15 yang diselenggarakan pada tanggal 23-25 Oktober lalu di Hua Hin, Thailand, menjadikan agenda pertama bagi kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Dalam pertemuan tersebut mencakup Pertemuan Cina-ASEAN ke-12, Pertemuan Jepang-ASEAN ke-12, Pertemuan Korea Selatan-ASEAN ke-12, Pertemuan ketujuh India-ASEAN, Pertemuan ASEAN+3 ke-12 dan Pertemuan keempat East Asia Summit (EAS).

Pertemuan ini membahas banyak masalah seperti : Deklarasi Cha-am Hua Hin untuk Inagurasi ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR), Memperkuat kerjasama di bidang pendidikan dalam rangka mewujudkan ASEAN Caring and Sharing Community, Rancangan Pernyataan mengenai perubahan iklim, dan pernyataan para pemimpin negara mengenai konektivitas ASEAN.

Tetapi pertemuan ini bagi Cina dan ASEAN menjadi penting, karena menyambut China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA) yang dijadwalkan pada tahun 2010. Dalam jangka waktu kurang lebih dua bulan kesepakatan ini akan mulai dijalankan. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai kesiapan ASEAN dalam menghadapi kesepakatan CAFTA tersebut.

Semakin Mesra

Pada tahun 1990an, Cina yang bangkit sebagai kekuatan ekonomi dunia yang baru mulai melebarkan sayapnya ke dunia internasional, khususnya ASEAN. Hal ini bertujuan untuk menyampaikan kepada dunia bahwa Cina bukan ancaman melainkan mitra yang bersahabat. Hal ini disebabkan oleh Teori ancaman Cina (China Threat) yang diyakini para pemikir dari Barat. Tetapi teori ini tidak berlaku bagi ASEAN yang merupakan negara tetangga dan berbatasan langsung dengan Cina.

Pada 19 Juli 1991, Menteri Luar Negeri Cina, Qian Qichen menghadiri ASEAN Ministerial Meeting di Kuala Lumpur. Cina mulai menunjukkan ketertarikan untuk bekerja sama dengan ASEAN.

Kemudian pada bulan September 1993, dilaksanakan kunjungan balasan oleh Sekretaris Jenderal ASEAN pada saat itu Dato’ Ajit Singh. Kemudian pada tanggal 23 Juli 1994, terjadi exchange of letters antara Sekjen ASEAN dan Menlu Cina yang menyetujui pembentukan komite kerjasama di bidang ekonomi, perdagangan dan IPTEK.

Cina dipercaya menjadi “consultative partner”, yang kemudian pada tahun 1996, dipercaya menjadi mitra wicara (Dialogue Partner).

Pada tahun 1997, terdapat setidaknya lima kerangka pembicaraan antara Cina dan ASEAN. Dimulai dari Konsultasi Politik antara Cina dan ASEAN pada tingkat senior, Komite Gabungan Kerjasama Ekonomi dan Perdagangan, ASEAN-China Joint Cooperation Committee (ACJCC), Komite Gabungan Kerjasama IPTEK, dan Komite ASEAN-Beijing.

Pada bulan Desember 1997, merupakan pertemuan informal pertama ASEAN+1. Pertemuan ini dihadiri oleh Jiang Zemin dan para pemimpin negara ASEAN.

Kemudian hubungan antara ASEAN dan Cina semakin mendalam ketika terjadi Krisis Finansial Asia yang menyebabkan banyak negara di Asia bertumbangan. Tetapi tidak untuk Cina. Cina justru berdiri kokoh. Kebijakan untuk tidak mendevaluasi Yuan, merupakan kebijakan yang menyelamatkan negara ASEAN khususnya dari keterpurukan.

Setelah terjadinya Krisis Asia, hubungan Cina dan ASEAN semakin mesra. Hal ini terlihat dari deklarasi yang dihasilkan selama pertemuan berlangsung. Pada tahun 2002, Cina-ASEAN menyetujui memperkuat kerja sama ekonomi dan Deklarasi Gabungan kerjasama dalam masalah keamanan non-tradisional antara Cina dan ASEAN. Pada 29 April 2005, hubungan kedua belah pihak semakin dalam dengan mewujudkan Action Plan to Implement the Joint Declaration of China-ASEAN Strategic Partnership. Selama empat tahun, Cina juga menyelenggarakan ASEAN-China Expo di Nanning.

CAFTA

Pada bulan November 2002, KTT ASEAN ke-8 di Kamboja, ASEAN dan Cina menandatangani Kerangka Kesepakatan Kerja Sama Ekonomi Menyeluruh. Hal ini merupakan tanda bagi kedua belah pihak untuk memperkuat kerja sama ekonomi.

Dalam kesepakatan ini, mencakup proses penurunan tarif dalam tiga kategori : Early Harvest Program (EHP), Jalur Normal, dan Jalur Sensitif. Jalur Sensitif kemudian dibagi lagi menjadi dua yaitu Sensitif dan Sangat Sensitif.

Kerja sama ekonomi ini semakin diperkuat dengan Treaty Amity and Cooperation (TAC) pada tahun 2003. Dengan demikian, hubungan kedua belah pihak semakin lancar dan aman.

Namun masih terdapat masalah-masalah yang belum diselesaikan. Menurut Alexander C. Chandra, potensi masalah yang harus diperhatikan adalah pertama, ASEAN dan Cina cenderung terlalu menekankan keuntungan jangka panjang tanpa memperhatikan dampak ekonomi jangka pendek. Kedua, kebaikan Cina untuk memberikan liberalisasi unilateral di bawah skema EHP terdengar terlalu muluk. Ketiga, indonesia dan ASEAN perlu memberikan perhatian lebih terhadap tantangan yang muncul dari Cina di bidang penanaman modal. Saat ini, negara-negara ASEAN semakin tertinggal dalam urusan penanaman modal dari negara Asia lainnya. Keempat, Indonesia juga perlu memperhatikan sejauh mana kemampuan kita untuk memasuki pasar Cina. Kelima, data yang tidak akurat dari pihak Cina mempersulit pembuat kebijakan ASEAN pada umumnya dan Indonesia pada khususnya untuk membuat kebijakan yang tepat. Keenam, CAFTA tentunya memiliki potensi untuk memperlemah proses integrasi ASEAN. (Merangkul Cina, 2009)

Pada akhirnya, Indonesia dan ASEAN harus memikirkan dan menemukan solusi untuk masalah-masalah tersebut. Bila mau untung, bukan buntung.

http://studiasinica.net/2009/11/07/cafta/

Minggu, 01 November 2009

MEDIA DI CINA BUKAN CORONG PEMERINTAH

Seminggu setelah perayaan ulang tahun Cina yang ke-60, Cina kembali menarik perhatian dunia, terutama media massa. Hal ini disebabkan oleh diadakannya World Media Summit (WMS) di Beijing.
Pertemuan ini diselenggarakan oleh kantor berita Xinhua sebagai tuan rumah dan dihadiri 130 perwakilan media dari 70 negara dan juga 40 media Cina. Perwakilan Indonesia adalah Antara, Kompas dan Jawa Pos Group.
Pertemuan ini bertemakan “Kerja sama, Aksi, Menang-menang (win-win) dan Perkembangan”. Tema ini didasarkan pada krisis finansial global yang melanda dunia selama setahun lebih. Dalam hal ini, bagaimana media mengambil sikap untuk tetap bertahan dalam krisis ini.
Pertemuan Media seluruh dunia ini juga menandakan bahwa Cina memiliki daya tarik dan kekuatan lunak yang berhasil menaklukan dunia. Tetapi pertemuan ini juga menjadi tantangan bagi Cina yang masih mengontrol media dan informasi. Hal lain yang patut diingat bahwa Cina juga merupakan negara yang sering memenjarakan jurnalis. Bagaimana Cina menghadapi tantangan ini?

Corong pemerintah

Semua media massa di Cina selama masa pemerintahan Mao berada di bawah kekuasaan negara. Media massa sebagai corong negara atau partai untuk menyampaikan berita dan sekaligus alat propaganda negara.
Media massa mengalami perubahan sejak tahun 1978, bertepatan dengan diterapkannya kebijakan “reformasi dan keterbukaan” oleh Deng Xiaoping. Reformasi yang terjadi pada media massa adalah tidak lagi disubsidi oleh negara. Masing-masing media massa harus bersaing di pasar dengan kemampuannya sendiri.
Perkembangan yang signifikan juga terjadi pada masa ini. Pada tahun 1978, hanya ada 1.116 koran dan majalah. Sedangkan pada tahun 2002, meningkat mencapai 11.166. Kemudian pendapatan dari periklanan, dari nol pada awal era reformasi meingkat menjadi $18 miliar pada tahun 2005, atau 0.78% dari Produk Domestik Bruto. Akan tetapi peningkatan ini mengalami penurunan ketika terjadi peristiwa Tian’anmen. Tragedi ini menyebabkan perusahaan koran dan majalah gulung tikar. Hal ini kembali normal setelah tiga tahun, yang bertepatan dengan ”Perjalanan ke Selatan” oleh Deng Xiaoping. Peristiwa ini merupakan kebangkitan kembali media massa di Cina.
Dalam perkembangannya, media massa mencari bentuknya sendiri dalam menghadapi era baru reformasi Cina yang berdasarkan ekonomi pasar. Gong Xueping, Sekretaris Partai Shanghai yang merupakan arsitektur perkembangan media penyiaran di Shanghai pada tahun 1990an, menyarankan bahwa media massa di Cina setidaknya dapat menciptakan media massa ”sosialis” yang berkarakteristik Cina. Menggabungkan dua tipe model media massa, yaitu tipe Soviet, yang mementingkan pemberitaan mengenai para pemimpinnya dan tidak memedulikan opini publik; dan tipe Gaya Barat, yang populer dan menguntungkan tetapi tidak peduli terhadap bidang sosial.
Tetapi peningkatan ini tidak diikuti dengan kebebasan pers. Negara masih mensensor dan mengontrol seluruh media massa di Cina.
Kekuasaan tertinggi berada di tangan Departemen Propaganda. Departemen ini menguasai media massa di Cina. Aman tidaknya berita bagi negara ditentukan oleh departemen ini. Jurnalis harus menerapkan self-censorship dalam memuat berita. Jika berita tersebut membahayakan bagi negara, maka Departemen Propaganda dengan cepat mengambil tindakan pengamanan.
Tindakan ini seperti menghentikan penyaluran berita tersebut, memecat editor atau manajer perusahaan media tersebut dan digantikan oleh yang dipilih oleh negara. Pemilihan manajer baru ini memakai sistem nomenklatura. Kemudian Departemen tidak lupa untuk memenjarakan para jurnalis yang menulis berita tersebut.

Ketidakpastian

Jurnalis di Cina mengalami perasaan serba salah. Hal ini dikarenakan diterapkannya “sensor pribadi” dalam memuat berita. Mereka tidak mengetahui apakah berita tersebut membahayakan negara atau tidak. Hal ini berhubungan dengan rahasia negara, yang jurnalis buta tentang hal tersebut.
Jonathan Hassid dalam artikelnya berpendapat bahwa usaha di bidang media merupakan bisnis yang tidak pasti (uncertain business). Cina menggunakan kekuatan ketidakpastian (The Power of Uncertainty). Jurnalis diselimuti oleh ketidakpastian dalam memuat berita. Tanpa sensor pra-publikasi, media massa mustahil mengetahui berita yang dimuat merupakan berita yang aman. Meskipun Departemen Propaganda telah mengeluarkan garis besar dalam penulisan berita. Tetapi hal ini dirasakan masih kurang jelas bagi jurnalis dan editor. Hal ini menjadi strategi yang ampuh bagi negara untuk mengontrol media massanya.
Topik-topik yang sensitif untuk dimuat dalam media massa adalah kejadian tiba-tiba seperti bencana alam. Kemudian gerakan demokrasi di Cina, separatisme atau etnis minoritas, pemogokan buruh, korupsi di dalam PKC, demontrasi besar-besaran, bencana yang dibuat oleh manusia, penyakit menular yang menimbulkan kritik dari dunia internasional.
Contohnya ketika penyakit SARS pada tahun 2003 yang menghebohkan dunia. Padahal penyakit tersebut sudah mengjakiti warga cina kira-kira setahun sebelumnya. Tetapi Cina ”menyembunyikan” atau tidak memberitakan hal tersebut kepada rakyat dan masyarakat dunia. Karena pada tahun tersebut bertepatan dengan pemilihan presiden baru pengganti Jiang Zemin, yakni Hu Jintao. Lima tahun berlalu, kasus yang mirip terulang kembali. Pada kali ini, bertepatan dengan Olimpiade 2008. Cina tidak memberitakan kasus keracunan susu pada anak-anak. Berita ini muncul setelah olimpiade terlaksana.
Jika ada jurnalis yang memberitakan sesuatu yang sensitif, maka akibatnya mereka tidak mendapat gaji atau bonus, yang jumlahnya setengah dari gaji pokok mereka. Jurnalis yang seperti ini akan cepat kehabisan uang. Kebebasan untuk memberitakan pun terpaksa dikompromikan.

Senin, 28 September 2009

Awas Jarum Suntik!

Pasca kerusuhan Xinjiang pada tanggal 5 Juli 2009, bukan ketentraman yang diperoleh melainkan serangan jarum suntik yang meresahkan para warga Xinjiang. Pemerintah China kembali “kecolongan” dalam mencegah teror.
Serangan jarum suntik memakan hingga 531 korban di Urumqi, ibukota dari Daerah Otonomi Khusus Xinjiang. 171 korban diantaranya mengalami luka suntikan yang sangat jelas terlihat. Mayoritas korban dari serangan ini adalah etnis Han, dan sisanya berasal dari etnis Uighur, Kazak, Hui, dan Mongolia. Untungnya jarum suntik yang digunakan tidak mengandung zat kimia atau virus-virus yang berbahaya.
Para pelaku serangan sudah ditangkap dan dihukum penjara antara tujuh sampai lima belas tahun. Tetapi hal ini tidak terlalu mempengaruhi para warga yang sudah terlanjur berada di bawah ketakutan.

Respon
Respon yang diberikan dari warga Xinjiang adalah langsung melakukan protes kepada pemerintah otonomi. Mereka menuntut adanya keamanan dan stabilitas sosial bagi warga Xinjiang.
Akibatnya Li Zhi, Sekretaris Partai Komunis Xinjiang dan Liu Yaohua, kepala polisi Xinjiang, dicopot dari jabatannya. Liu Yaohua digantikan Zhu Changjie, Ketua Partai daerah Aksu, Xinjiang. Sedangkan Li Zhi digantikan oleh Zhu Hailun, Ketua Komisi Hukum dan Politik Partai Komunis China, Xinjiang. Tetapi Sekretaris Partai Komunis China, Wang Lequan tidak diturunkan dari jabatannya.
Pemerintah China juga melakukan tindakan penjagaan. Polisi dikerahkan untuk melakukan penjagaan di daerah rawan, seperti di bus-bus, sekolah, dan rumah sakit. Hal ini mengingat bahwa serangan dilakukan di daerah yang ramai. Para warga mau tidak mau menghentikan kegiatannya sementara waktu. Kecurigaan terhadap sesama warga meningkat. Mengakibatkan para warga tidak mau menggunakan alat transportasi publik. Setelah serangan tersebut, para warga memilih berjalan kaki, naik sepeda atau berdiam diri di rumah.
Pemerintah China juga melakukan pengontrolan terhadap bahan kimia. Pemeriksaan identitas yang lebih ketat sebelum seseorang melakukan transaksi jual beli.
Rumah sakit-rumah sakit di Xinjiang juga memberikan informasi cara penyelamatan pertama bila terkena serangan jarum suntik. Brosur-brosur mengenai informasi tersebut disebar di seluruh kota. Ditambah dengan disediakannya konsultasi psikologis bagi para korban serangan. Hal ini ditujukan untuk membantu para korban mengatasi trauma akibat serangan tersebut.
Menurut Du Xintao, staf dari Departemen Keamanan Publik, mengatakan serangan ini merupakan kejahatan teroris. Serangan ini bukan merupakan keisengan semata atau aktivitas kriminal biasa, tetapi merupakan serangan yang direncanakan dengan baik. Serangan ini menyebabkan terganggunya stabilitas sosial dan menciptakan atmosfir yang mencekam bagi para warga. Hal ini merupakan kejahatan terhadap masyarakat.
Dampak dari serangan ini juga terasa pada bidang pariwisata Xinjiang. 76 grup turis yang terdiri dari 3.358 calon turis membatalkan kepergiannya. Rata-rata kunjungan harian tempat pariwisata mencapai 3.000-5.000 sebelum terjadinya kerusuhan. Angka yang cukup besar ini anjlok hingga 300-600 saja.
Tetapi harapan untuk memperbaiki masih tetap ada. Hal ini terlihat dari masih ada kunjugan yang dilakukan oleh turis dari Asia Tenggara, terutama Singapura dan Indonesia. Tur 11 hari ini merupakan tur pertama kali sejak terjadinya kerusuhan bulan Juli lalu.
Pemerintah China juga mengalokasikan dana sebesar 5 juta Yuan atau setara dengan AS$ 730.000 untuk menhidupkan kembali sektor pariwisata. Tidak hanya alokasi dana saja, tetapi pemerintah mempromosikan beberapa acara untuk menarik minat para wisatawan. Contohnya seperti Festival Pohon Poplar Internasional, Festival Fotografi Internasional, Festival Budaya di kota ”Jalur Sutra” Qiuci, dan Festival Es dan Salju di Altay, Kanas dan Danau Tianchi.
Zhou Yongkang, anggota Komite Tetap Politbiro Partai Komunis China, menginginkan adanya stabilitas sosial di Xinjiang. Hal ini disampaikannya pada rapat keamanan nasional dalam rangka menyambut Hari Ulang Tahun China ke-60, seperti dilansir oleh Xinhua (12/09/09).
Masalah keamanan nasional ini menjadi sensitif, karena dalam menyambut dirgahayu China. Pemerintah China akan mengetatkan keamanan dan stabilitas di daerah-daerah rawan konflik seperti di Xinjiang dan Tibet. Serangan jarum suntik ini bisa jadi merupakan serangan awal dari rangkaian serangan yang semakin meningkat mendekati tanggal 1 Oktober 2009. Seperti contohnya pada waktu mendekati pembukaan Olimpiade Beijing 2008, terjadi serangan terhadap polisi di Xinjiang. Beban berat harus dipikul oleh para pejabat yang baru saja menduduki posisinya. Mengembalikan sebuah kepercayaan bukanlah suatu hal yang mudah.

China dan Lingkungan

China dalam tiga dekade terakhir ini mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Tetapi dalam tiga dekade terakhir ini juga China mengalami pencemaran lingkungan.
Warga kota-kota industri yang jarang melihat matahari secara langsung, anak-anak keracunan bahkan sampai meninggal akibat polusi, daerah pesisir pantai yang ditumbuhi alga merah. Hal-hal ini sudah menjadi biasa di China.
Pada bulan Agustus lalu terdapat kasus pencemaran lingkungan. Kasus pencemaran timah oleh Perusahaan Dongling di provinsi Shaanxi, kemudian terjadi kembali kasus pencemaran yang terjadi di Kunming, Yunnan. Hal ini merupakan sebagian kasus pencemaran yang terjadi di China. Pencemaran ini membawa dampak buruk 615 anak menjadi korban pencemaran di Shaanxi, kemudian 200 anak menderita keracunan di provinsi Yunnan. Banyak protes terjadi akibat kasus pencemaran ini. Pemerintah China didesak untuk mencari jalan keluar yang tepat dalam masalah pencemaran lingkungan ini.
Pertumbuhan ekonomi China yang mengusung ekspor led growth membuat seluruh pabrik berproduksi besar-besaran. Hampir seluruh komoditi ekspor di dunia dikuasai oleh China. Tetapi hal ini tidak dibarengi dengan tindakan menjaga lingkungan. Di satu sisi pertumbuhan ekonomi membawa hasil yang positif tapi di sisi lain membawa hasil yang negatif. Pemerintah tidak bisa tidak membiarkan pencemaran ini terus terjadi, hal ini juga didukung dengan terjadinya pemanasan global, yang memaksa negara-negara mengeluarkan emisi yang besar untuk bersama-sama mengurangi polusinya.

Langkah China
Pada Maret 2008, Kongres Rakyat Nasional mengesahkan Departemen Perlindungan Lingkungan. Sebelum berdirinya departemen ini, badan perlindungan lingkungan ini disebut State Environmental Protection Administration (SEPA).
Departemen ini bertugas sesuai dengan namanya yaitu melakukan serangkaian perlindungan lingkungan. Mulai dari pengawasan, perencanaan undang-undang, serta pelaksanaan dari undang-undang tersebut. Departemen ini dipimpin oleh Zhou Shengxian.
Sebenarnya langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah China dalam melakukan tindakan perlindungan sudah tepat. Tindakan ini bahkan sudah diambil sejak tahun 1970an. Pada saat itu, China sudah menetapkan prinsip-prinsip untuk mengatur dan mengalokasi pengeluaran dari perlindungan lingkungan.
Prinsip-prinsipnya adalah pertama, menekankan pada tindakan pencegahan dan secara ketat mengontrol sumber polusi baru. Kedua, menetapkan pencegahan polusi harus dimulai pada saat proses industri berlangsung. Ketiga, pelaku pecemaran harus menanggung biaya pemulihan lingkungan. Keempat, memberikan bantuan finansial kepada para perusahaan yang berupaya untuk mencegah polusi. Kelima, mengontrol polusi secara terpusat untuk mengurangi masalah-masalah lingkungan di perkotaan.
Bahkan pemerintah China telah melakukan investasi untuk penghematan energi. Pada tahun 1991-1993, China meningkatkan investasi mencapai 17 miliar Yuan untuk konstruksi modal dan konservasi energi.
Li Keqiang, Wakil Perdana Menteri, pada bulan Agustus lalu juga mengadakan rapat mengenai survei nasional tentang polusi. Dalam rapat ini, Li menghimbau untuk terus menjaga lingkungan dan menyelesaikan masalah mengenai polusi ini, yang bertujuan untuk menjaga sustainable development di China dan meningkatkan kualitas dan standar hidup rakyatnya.

Hambatan
Langkah-langkah yang diambil oleh China sudah tepat, tetapi mengapa masih banyak terjadi pencemaran lingkungan?
Menurut Wang Hanchen dan Liu Bingjiang, hal ini disebabkan oleh pertama, sistem manajemen lingkungan dibuat dalam bentuk dokumen rencana, kurangnya dukungan hukum menyebabkan hal tersebut sulit dilaksanakan. Kedua, koordinasi dari standar baru kontrol volume yang sudah ditetapkan masih kurang jelas atau tidak konkret. Ketiga, beberapa sistem manajemen yang sudah diformulasikan sebelumnya, tidak sesuai dengan keadaan China sekarang yang sudah mengalami perkembangan ekonomi. Keempat, perusahaan-perusahaan berorientasi pada keuntungan yang menyebabkan mereka berusaha untuk melepaskan tanggung jawab atas pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh proses produksi. (Energizing China, 1998)
Oleh karena itu, China harus dengan sigap menyiasati pencemaran lingkungan tersebut. Protes sudah dilancarkan hampir seluruh negara di dunia. Terutama negara-negara tetangga seperti Jepang dan Korea Selatan. Dua negara ini juga mengalami dampak dari pencemaran yang dilakukan oleh China. Beberapa sekolah di daerah selatan Jepang dan Korea Selatan harus menghentikan kegiatannya akibat kabut kimia beracun yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik di China. Kemudian badai pasir dari Gurun Gobi menyebabkan penggundulan hutan (deforestation). Bahkan pencemaran ini sampai ke daratan Amerika Utara.
Pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh China dampaknya tidak hanya dirasakan oleh China sendiri tetapi juga oleh dunia. Dengan bersama-sama kita menjaga lingkungan, kita jaga planet kita, bumi kita tercinta.

Senin, 14 September 2009

Dilema Morakot

Badai Morakot tidak membawa bencana dan korban yang masif terhadap China, tetapi di balik itu, Badai ini membawa bencana rusaknya hubungan antara China dan Taiwan.
Hal ini disebabkan oleh berkunjungnya Dalai Lama, seorang pemimpin spiritual Tibet, yang dituduh oleh pemerintah China sebagai tokoh pemisah antara China dan Tibet. Dalai Lama selama 50 tahun berada di pengasingan di Dharamsala, India. Sampai sekarang belum ada kesepakatan untuk memperoleh stabilitas untuk Tibet beserta rakyatnya.
Ditandai dengan datangnya Dalai Lama ke Taiwan, memberikan China dilema. Karena pemerintah China harus berhadapan dengan dua masalah sensitif yang sampai sekarang belum dapat ditemukan solusinya. Tibet dan Taiwan juga merupakan dua wilayah yang menuntut adanya pemisahan dan kemerdekaan dari China.

Dampak Dalai Lama
Misi kedatangan Dalai Lama ke Taiwan adalah mendoakan para korban bencana dan melepaskan arwah para korban yang meninggal. Misi ini merupakan misi kemanusiaan dan tidak ada misi politik atau pun agenda politik. Berdasarkan survei yang dirilis pada tanggal 28 Agustus 2009, kunjungan Dalai Lama merupakan kunjungan kemanusiaan, tetapi sebagian menganggap kunjungan Dalai Lama merupakan sebuah manuver politik dan sebagian lainnya menganggap bahwa diperlukan perhatian yang lebih terhadap penanggulangan bencana.
Tetapi kunjungan ini tetap mengundang kemarahan China apapun alasannya, karena China selalu menentang negara yang menerima kedatangan Dalai Lama.
Dalam hal ini, China justru tidak menyalahkan Presiden Ma Ying Jeou, melainkan menyalahkan Partai Progresif Demokratik (DPP) yang mengundang Dalai Lama. China menunjukkan sikap yang bersahabat dengan Kuomintang (KMT). Tujuannya adalah China tidak menginginkan hubungan yang sudah membaik ini kembali hancur. China juga tidak mau disebut sebagai negara negara yang tidak memiliki peri-kemanusiaan. Karena tidak mengijinkan mendoakan korban bencana.
Meskipun China tidak menyalahkan Ma, China tetap memberikan reaksi keras dengan membatalkan dua kunjungan delegasi penting. Bahkan China juga memutuskan untuk tidak menghadiri upacara pembukaan Olimpiade Tuna Rungu (Deaf Olympic) pada tanggal 5 September lalu di Taiwan.
Dari sudut pandang Taiwan, Presiden Ma tidak memiliki pilihan lain selain menyetujui kedatangan Dalai Lama. Ma tidak ingin kehilangan legitimasi dihadapan rakyatnya. Karena sebelum kedatangan Dalai Lama, popularitas Ma Ying Jeou sudah menurun. Hal ini disebabkan oleh kurang sigapnya pemerintah Taiwan dalam menanggulangi para korban bencana. Dua pejabat pemerintah mengundurkan diri dan Presiden Ma memohon maaf sedalam-dalamnya akibat masalah ini.
KMT juga tidak mau merasa mengalah kepada DPP yang terlihat ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk menimbulkan friksi dalam hubungan China-Taiwan yang semakin lama semakin membaik. Pemerintah Taiwan juga terus memantau perjalanan dan agenda Dalai Lama agar tetap pada jalurnya dan tidak menyelipkan agenda politik dalam kunjungannya.

China –Taiwan
Hubungan antara China dan Taiwan dalam beberapa tahun terakhir ini membaik. Ditandai dengan kembalinya KMT ke puncak kekuasaan, setelah dua periode sebelumnya dikuasai oleh DPP.
Pada masa kekuasaan DPP, hubungan antar selat ini memburuk. Hal ini disebabkan oleh Chen Shui Bian menuntut adanya kemerdekaan bagi Taiwan. China tentu saja menolak adanya negara Taiwan. Karena China menganggap Taiwan sebagai bagian dari China yang belum kembali ke pangkuannya. Selama masa tersebut, tidak terdapat kontak fisik. Akan tetapi baik China maupun Taiwan masing-masing menunjukkan kekuatan militernya. Kedua belah pihak menandakan siap untuk perang bila hal itu sampai terjadi.
Dengan kembalinya KMT, China dapat bernapas lega. Karena KMT tidak menuntut adanya kemerdekaan. Tetapi mereka juga tidak menginginkan adanya reunifikasi. Taiwan di bawah kepemimpinan Ma Ying Jeou, lebih condong tetap mempertahan kan status quo tetapi tetap ingin menciptakan hubungan yang baik dengan China. Pada masa Ma ini, penerbangan langsung China-Taiwan dibuka. Neraca perdagangan juga mengalami peningkatan.
Tampaknya hubungan antara China dan Taiwan akan terus coba dipertahankan dan terus diperdalam di berbagai bidang. Masing-masing negara tampaknya belum menyentuh masalah reunifikasi yang merupakan masalah sensitif. Tetapi akankah China dan Taiwan reunifikasi? Atau kembali memburuk akibat sebuah kunjungan kemanusiaan? Hanya waktu yang akan menjawabnya.

Kamis, 10 September 2009

Privatisasi Pembawa Bencana?

Pada dua bulan terakhir ini terjadi dua unjuk rasa terkait dengan privatisasi Perusahaan Milik Negara (PMN) di China. Dua demonstrasi yang dilancarkan oleh para buruh, berakhir ricuh.
Pada kasus pertama, pada tanggal 27 Juli 2009, buruh Perusahaan Besi dan Baja Tonghua melakukan demonstrasi yang berujung hilangnya sebuah nyawa. Korban adalah pengusaha yang ingin membeli Perusahaan Tonghua tersebut. Privatisasi ditunda setelah meninggalnya pengusaha tersebut.
Kemudian pada kasus yang kedua, 17 Agustus 2009, kembali terjadi demonstrasi buruh. Kali ini dilancarkan oleh buruh dari perusahaan besi dan baja Linzhou. Para demonstran bahkan sampai menyandera seorang pegawai. Pemerintah menunda privatisasi perusahaan tersebut.
Dua kasus tersebut memicu 500 orang akademisi dan pensiunan pegawai pemerintah mengirimkan surat yang ditujukan kepada pemerintah pusat untuk menghentikan serangkaian proses privatisasi terhadap PMN dan menghentikan investasi asing. Aksi ini dipimpin oleh Li Chengrui, mantan Kepala Biro Statistik Nasional dan Gong Xiantian, Profesor Hukum dari Universitas Beijing.
Privatisasi yang terjadi di China di satu sisi membawa kemajuan ekonomi, tetapi di sisi lain menyebabkan banyak buruh yang dirumahkan, yang pada akhirnya memicu kekacauan yang dampaknya merugikan berbagai pihak.

Reformasi PMN
Perusahaan Milik Negara (PMN) yang menjadi tulang punggung ekonomi China selama 30 tahun. Satu demi satu berguguran setelah berakhirnya Revolusi Kebudayaan.
Ketika Deng Xiaoping mengambil alih jalannya pemerintahan dan melancarkan kebijakan “Reformasi dan Keterbukaan”. Perekonomian China meningkat dengan pesat. Tetapi permasalahan mengenai PMN belum dapat dipecahkan, karena semakin banyak yang bangkrut dan PMN tidak bisa tidak merumahkan para buruh. Ditambah dengan perubahan sistem ekonomi terencana menjadi sistem ekonomi pasar, yang menyebabkan PMN harus bersaing dengan begitu banyak perusahaan swasta.
Namun pada masa pemerintahan Jiang Zemin dan Zhu Rongji, digalakkan reformasi PMN. Kebijakan yang digunakan untuk mereformasi dikenal dengan zhua da, fang xiao (memegang yang besar, melepaskan yang kecil). PMN-PMN yang berskala besar dan memiliki potensi ekonomi yang baik akan diselamatkan dari jurang kebangkrutan. Sedangkan sisanya dibiarkan bangkrut atau diserahkan kepada pihak swasta (privatisasi).
Pada awalnya reformasi ini dirasa sangat sulit, mengingat pada tahun 1997 terjadi Krisis Finansial yang melanda Asia. Namun pada tahun 1999, PMN yang direformasi menunjukkan perkembangan yang signifikan. Keuntungan yang diperoleh oleh PMN mencapai 96,7 miliar Yuan, meningkat 84,2% dibandingkan dengan tahun 1998.
Pada tahun 2000, kerugian yang diperoleh PMN mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Dari 4.11 Miliar Yuan menjadi 2.18 Miliar Yuan. Penurunan kerugian ini memenuhi target dari Komite Sentral Partai Komunis China yang menetapkan target penurunan kerugian tiga tahun sebelumnya.
Privatisasi ini terus berlangsung hingga saat ini. Pemerintah China pada bulan Maret 2009, mengumumkan akan mendirikan perusahaan manajemen aset untuk mempercepat privatisasi. Targetnya adalah mengurangi PMN dari 141 menjadi 100 sampai 80 perusahaan pada tahun 2010. Bila hal ini terus dilakukan maka dalam satu tahun akan terjadi demonstrasi kurang lebih sebanyak 50 kali.

Solusi
Berdasarkan dua kasus di atas, muncul dilema yang dihadapi oleh pemerintah China. Melanjutkan atau menghentikan reformasi?
Menurut Li Minqi, Asisten Profesor Ekonomi pada Universitas Utah, jalan keluar yang harus ditempuh adalah melambatkan atau menghentikan reformasi. Pemerintah China sebaiknya tidak menjadikan privatisasi sebagai solusi umum untuk mereformasi PMN. Bila sistem kolektif masih cocok diterapkan untuk beberapa perusahaan, tidak ada salahnya untuk tetap diterapkan.
Pemerintah China juga bisa mempertimbangkan kembali jalan reformasi PMN yang dipaparkan oleh Sheng Huaren, mantan Menteri Ekonomi Negara dan Komisi Dagang, jalan pertama adalah menekankan penggabungan (merger) dan kebangkrutan. Hal ini bertujuan untuk menyelamatkan PMN yang sudah tidak bisa ditolong lagi dan harus keluar dari pasar. Kedua, Mempercepat reformasi teknologi dan inovasi teknologi. Ketiga, Melanjutkan kebijakan ”Memegang yang besar, Melepas yang kecil” dan reorganisasi strategis untuk perusahaan. Keempat, melakukan perbaikan manajemen perusahaan.

Senin, 31 Agustus 2009

Las Vegas Asia

Pada tanggal 26 Juli 2009, terjadi pemilihan Ketua Eksekutif untuk Daerah Administratif Khusus Macau. Dia adalah Chui Sai On yang akan menggantikan Ho Hau Wah, yang akan selesai masa tugasnya pada tanggal 19 Desember 2009.
Chui Sai On menjabat sebagai sekretaris pada pemerintahan Ho Hau Wah selama dua kali berturut-turut. Sekarang dia menjadi Ketua Eksekutif yang ketiga, setelah Ho Hau Wah secara berturut-turut terpilih menjadi ketua. Chui Sai On memiliki latar belakang yang cukup baik, dia lahir pada tahun 1957 di Macau dan berkebangsaan Cina. Kemudian dia merupakan satu-satunya pejabat yang memiliki gelar Phd di bidang Kesehatan Masyarakat yang dia dapatkan pada Universitas Oklahoma, Amerika Serikat. Terpilihnya Chui Sai On juga tidak terlepas dari jabatan sebelumnya sebagai sekretaris masalah sosial dan kebudayaan yang dia perankan dengan sangat baik.
Pada tanggal 13 Agustus 2009, Presiden Hu Jintao memberi selamat dan dukungan kepada ketua eksekutif terpilih. Chui Sai On diharapkan dapat meningkatkan Macau di segala aspek.
Chui Sai On dalam pidatonya setelah terpilih menjadi Ketua yang baru mengatakan bahwa akan memperioritaskan pada masalah sosial dan ekonomi akibat krisis finansial global. Dalam mengatasi krisis ini dia menekankan pada pendekatan langsung pada masyarakat Macau (people-oriented approach). Kemudian akan meningkatkan kualitas perumahan, menyelesaikan masalah pengangguran, memfokuskan pembangunan pada bidang transportasi, kemudian melawan korupsi dan mewujudkan pemerintahan yang bersih dan efisien.
Pemilihan Chui Sai On ini bertepatan dengan 10 tahun Macau dikembalikan kepada Cina dari tangan Portugis, yaitu tahun 1999, tepat dua tahun Hong Kong juga kembali kepada Cina. Dalam 10 tahun ini, Macau telah berkembang menjadi daerah yang maju. Hal ini terlihat pada pertumbuhan GDP yang tinggi, pada tahun 2004 sebesar 28,4 %, pada tahun 2005 sebesar 6,9 %. Kemudian pada tahun 2006, meningkat menjadi 16,6 %. Peningkatan ini menjadikan Macau salah satu daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia.

Judi
Perjudian dan Kasino menjadi salah satu aset penting di Macau, karena perjudian menjadi salah satu tulang punggung ekonomi di daerah administratif khusus tersebut. Sebutan Las Vegas Asia mungkin cocok dengan Macau. Hal ini disebabkan oleh banyaknya kasino yang bertebaran di Macau. Kebanyakan penjudi yang bermain di Macau berasal dari Cina Daratan. Pada tahun 2002, hanya 37% pengunjung dari Cina Daratan. Tetapi pada tahun 2006, meningkat menjadi 54%
Kasino-kasino dibangun layaknya Las Vegas di Nevada, Amerika Serikat. Bangunan-bangunan ini tidak hanya kasino saja, tetapi juga dilengkapi dengan hotel dan ruang pertemuan. Pada tahun 2002, Macau hanya memiliki 11 kasino yang terdiri dari 339 meja permainan dan 808 mesin slot. Pada tahun 2007, semua angka ini meningkat pesat, Macau memiliki 26 kasino, 2.970 meja permainan dan 7.349 mesin slot.
Seiring dengan perkembangan ekonomi, perkembangan di bidang perjudian juga terus meningkat. Tetapi Macau tidak mau berhenti hanya pada bidang perjudian saja, Macau juga terus mengembangkan sektor perhotelan, hiburan dan pariwisata.
Terkait dengan perjudian, Chui Sai On akan terus mengembangkan industri perjudian agar bisa terus bertahan hingga masa yang akan datang. Industri ini mendatangkan keuntungan sebesar AS$ 13.7 Miliar pada tahun lalu, peningkatan dari tahun ke tahun sebesar 31%. Tetapi pada pertengahan tahun ini menurun sebesar 12% akibat krisis finansial. Kemudian dia juga menginginkan lingkungan bisnis yang kondusif dan mengembangkan pariwisata antara Guangdong, Hong Kong dan Macau.
Mengenai mengembangkan kerja sama ini, Ketua Eksekutif Hong Kong, Donald Tsang mendukung adanya kerja sama yang lebih erat antara daerah administratif khusus ini. Sehingga perekonomian antar dua daerah ini, dan bahkan kota-kota di sekitar Delta Sungai Mutiara dapat lebih berkembang.

Taiwan
Hanya Taiwan yang belum kembali ke pangkuan Cina, setelah hampir 60 tahun merdeka. Usaha reunifikasi terus dilakukan oleh Cina hingga sekarang. Dengan Hong Kong dan Macau sebagai ujung tombak keberhasilan diterapkannya kebijakan ”Satu Negara, Dua Sistem”, Cina terus berusaha melakukan reunifikasi dengan Taiwan.
Tetapi Taiwan tidak bergeming, apalagi di bawah pimpinan Partai Progresif Demokratik. Taiwan justru berusaha untuk merdeka, menjadi sebuah negara yang terlepas dari bayang-bayang Cina. Tetapi setelah Kuomintang merebut kembali tampuk kepemimpinan, Cina bisa sedikit bernafas lega. Karena Taiwan tidak meneruskan perjuangan untuk merdeka. Tetapi di sisi lain juga tidak ada reunifikasi di antara kedua pihak. Hal ini menandakan bahwa Ma menginginkan mempertahankan status quo yang dimiliki Taiwan sekarang. Oleh karena itu, Cina harus memanfaatkan dengan baik dan memperdalam hubungan dengan Taiwan pada masa pemerintahan Kuomintang ini.
Cina menginginkan terciptanya hubungan yang dinamis di antara kedua daerah. Cina mengembangkan hubungannya mulai dari bidang ekonomi, perdagangan, dan pariwisata. Cina sudah memberlakukan penerbangan langsung dari Cina daratan langsung menuju Taiwan. Mengenai hal ini, Chui beranggapan bahwa akan lebih baik lagi bila dibuka jalur penerbangan via Macau. Kemudian hubungan antara Macau dan Taiwan, Chui menerapkan kebijakan satu Cina. Akan tetapi hubungan perdagangan dan pertukaran budaya akan terus digalakkan.
Terkait dengan bantuan dana untuk bencana Topan Morakot yang merenggut ribuan jiwa dan meluluhlantakkan Taiwan. Cina mengucurkan dana jutaan yuan untuk membantu korban. Bantuan berasal dari berbagai macam organisasi mulai dari Palang Merah, Bank, Asosiasi Buddhis, dan perusahaan-perusahaan besar. Macau menyumbang AS$ 1.52 Juta. Sedangkan Hong Kong menyumbang dana sebesar AS$ 6.3 Juta. Bantuan-bantuan dari seluruh negara juga sudah mulai berdatangan.

Dalai Lama dari Xinjiang

Kerusuhan di Xinjiang pada tanggal 5 Juli 2009, yang menyebabkan ratusan orang meninggal dan ribuan orang luka-luka. Siapa yang harus bertanggung jawab atas tragedi ini?
Pemerintah Cina menganggap kerusuhan di Xinjiang bukan bentrokan antar etnis Uighur dan etnis Han, meskipun ratusan orang Han dan puluhan orang Uighur menjadi korban dalam peristiwa tersebut. Menurut pemerintah Cina, kejadian ini merupakan tindak kejahatan, dan setiap kejahatan ada dalangnya. Cina menganggap kejadian mengenaskan ini dikomandokan oleh Rebiya Kadeer.

Tersangka
Pemerintah Cina menjadikan Rebiya Kadeer tersangka dalam tragedi 5 Juli 2009. Siapa Rebiya Kadeer? Ia merupakan pemimpin separatis dari Xinjiang, yang kemudian menjadi pemimpin dari World Uighur Congress (WUC). Rebiya Kadeer merupakan seorang milyuner perempuan dari provinsi yang kaya sumber alam ini dan dinobatkan pada tahun 1995 sebagai orang terkaya kedelapan di Cina. Reformasi dan Keterbukaan yang membawa Rebiya ke puncak kekayaan. Kemudian kebijakan “Pergi ke Barat”, yang merupakan kebijakan untuk memajukan daerah barat Cina, menjadikannya semakin makmur.
Kemudian kesuksesannya berlanjut, Rebiya menjadi anggota Komite Nasional untuk Konferensi Konsultatif Politik Rakyat Cina (CPPCC). Badan ini merupakan badan penasehat tertinggi di Cina.
Akan tetapi kesuksesannya tidak berlangsung lama, karena pada tahun 1999, Rebiya dipenjara karena masalah politik, membahayakan bagi negara, dan masalah penyelewengan pajak. Ia dihukum selama 6 tahun, karena pada tahun 2005, Rebiya dibebaskan dan kemudian mengasingkan diri ke Amerika sampai sekarang.
Setelah peristiwa kerusuhan tersebut Rebiya ternyata dibenci oleh para pengguna internet di Cina. Bahkan nama Rebiya Kadeer disensor di Cina. Hal ini menunjukkan bahwa Rebiya sudah menjadi musuh publik dan berbahaya bagi Cina. Sensor ini juga berlaku bagi kata Falun Gong dan demokrasi.

Hubungan Luar Negeri
Kunjungan Rebiya ke Jepang pada tanggal 29 Juli 2009, menuai banyak kecaman dari pemerintah Cina. Hal ini juga semakin memperburuk hubungan antara Cina dan Jepang, yang pada beberapa tahun terakhir ini mulai kelihatan membaik. Hubungan yang mulai membaik ini terlihat dari perdagangan dan investasi oleh kedua negara meningkat sejak 20 tahun terakhir ini.
Pihak Jepang menerima Rebiya di Jepang karena memang tidak ada misi politik dalam kunjungan Rebiya. Tetapi Cina beranggapan lain, apalagi Cina masih sensitif setelah terjadinya kerusuhan di awal bulan Juli tersebut. Menurut Harian Rakyat (31/07/09), bagi Jepang kunjungan Rebiya ke Jepang merupakan kunjungan bisnis rutin dan tidak akan merusak hubungan antara Cina dan Jepang. Sedangkan bagi Cina mengijinkan Rebiya masuk Jepang mengakibatkan rusaknya image Jepang di mata Cina.

Mengingat bahwa konstalasi politik di kawasan Asia Timur masih belum stabil, karena masih ada Korea Utara yang menjadi isu panas akhir-akhir ini. Hal ini juga disebabkan oleh kedua negara yang menjadi bagian dari perundingan enam negara (Six Party Talks) yang membahas nuklir Korea Utara. Bila kedua negara juga menunjukkan ketegangan, maka tidak akan terwujud kawasan yang kondusif di Asia Timur.
Setelah dari Jepang, Rebiya juga berencana untuk mengunjungi Negeri Kangguru, Australia. Rencananya Rebiya datang ke Australia untuk menghadiri Festival Film Melbourne yang menayangkan film dokomenter mengenai dirinya pada tanggal 8 Agustus. Kemudian pada tanggal 11 Agustus direncanakan akan menghadiri Klub Pers Nasional dan memberikan pidato yang ditayangkan di televisi.
Cina tidak berpangku tangan, tetapi langsung bereaksi terhadap kunjungan Rebiya ke Australia. Respon yang dilakukan Cina adalah meminta panitia Festival Film Melbourne untuk menarik film dokumenter mengenai Rebiya Kadeer. Kemudian terjadi peristiwa hacking yang mengganggu penjualan tiket festival film tersebut, terutama untuk film dokumenter tersebut dan memunculkan bendera Cina pada komputer-komputer milik panitia festival tersebut. Protes-protes juga dilakukan oleh para sutradara dari Cina yang mengundurkan diri dan menarik filmnya dari festival.
Hubungan antara Cina dan Turki juga mengalami kerenggangan. Turki merupakan negara yang sangat mendukung etnis Uighur, yang memang memiliki kedekatan budaya di antara keduanya. Warga negara Turki merupakan pemrotes paling lantang di antara negara-negara lainnya dan menjadi satu-satunya negara yang secara jelas memprotes Cina setelah kerusuhan terjadi. Kemudian menjadi negara yang langsung menyetujui permohonan visa dari Rebiya Kadeer. Rebiya mendapatkan dukungan penuh dari Turki.
Kunjungan-kunjungan yang dilakukan oleh Rebiya mirip dengan Dalai Lama. Kunjungan ini juga bersifat diplomasi dan mencari dukungan dari negara yang dikunjungi. Tidak hanya kunjungan-kunjungan yang meniru Dalai Lama tetapi pengasingan yang dia lakukan juga mengikuti Dalai Lama. Hal ini diharapkan dapat menarik simpati dari banyak pihak, yang pada akhirnya Xinjiang dapat terlepas dari Cina.
Menurut The Economist (09/07/09), Rebiya Kadeer bukanlah seorang Dalai Lama, kepopuleran yang dimiliki oleh Dalai Lama jauh lebih besar daripada Rebiya Kadeer. Dalai Lama merupakan pemenang Nobel di bidang perdamaian. Jadi jalan masih panjang bagi Rebiya untuk menjadi seperti Dalai Lama. Dan sudah tentu pemerintah Cina tidak akan tinggal diam terhadap aksi-aksi yang dilakukan oleh Rebiya Kadeer selanjutnya.

Selasa, 28 Juli 2009

Kerusuhan Xinjiang

Xinjiang kembali memanas, dilaporkan 184 korban meninggal dan lebih dari 1000 orang luka-luka. Tetapi kerusuhan ini bukan berasal dari gerakan separatis melainkan perselisihan antara suku Uighur, salah satu suku minoritas di Cina dengan suku Han, yang merupakan suku mayoritas di Cina.
Karena kerusuhan ini, Hu Jintao mempersingkat pertemuan G-8 yang berlangsung di Italia. Pemerintah Cina langsung mengerahkan pasukan militernya untuk meredam dan kembali menstabilkan situasi di Urumqi. Kemudian pemerintah juga akan menghukum oknum-oknum yang terbukti menyebabkan kerusuhan terjadi dan menyebabkan kerugian bagi ratusan bahkan ribuan orang Xinjiang.
Tidak lama setelah kerusuhan terjadi, aksi protes juga datang dari negara-negara Islam. Hal ini disebabkan oleh suku Uighur merupakan pemeluk agama Islam dan jumlah nya mencapai 20 juta orang. OKI juga turut prihatin mengenai apa yang telah terjadi di Urumqi.

Akar Permasalahan
Kerusuhan ini disebabkan justru bukan dari Xinjiang, melainkan berasal dari sebuah pabrik di Guangdong. Tetapi yang membingungkan adalah mengapa kerusuhan terjadi di Urumqi bukan di pabrik di Guangdong tersebut. Ternyata ada masalah yang sebenarnya lebih besar dari isu miring tersebut.
Sejak diberlakukannya kebijakan Reformasi dan Keterbukaan oleh Deng Xiaoping menyebabkan ekonomi Cina tumbuh dengan pesat. Daerah pesisir Cina mengalami pertumbuhan yang begitu cepat. Hal ini menimbulkan perkembangan di daerah pedalaman tertinggal dari daerah pesisir. Oleh karena itu, pembangunan ditekankan ke daerah barat, yakni Xinjiang yang terletak jauh di sebelah Barat Cina dan berbatasan dengan lima negara. Wilayah ini juga memiliki sumber minyak dan gas alam. Menurut Dwijaya Kusuma adalah cadangan minyak di Tarim Basin secara keseluruhan kurang lebih sebesar wilayah Texas di Amerika Serikat. (Cina Mencari Minyak, 2008)
Dengan demikian, semakin banyak penduduk dari suku Han bermigrasi ke Xinjiang dengan tujuan memacu pertumbuhan ekonomi di Xinjiang. Sejak 60 tahun yang lalu, penduduk yang berasal dari suku Han meningkat dari awalnya hanya 6% dari penduduk Xinjiang pada tahun 1949. Meningkat menjadi 40% dari penduduk Xinjiang. Sedangkan suku Uighur mengalami penurunan selama 60 tahun ini, yang awalnya 75% menjadi 45%.
Menurut The Economist, penyebab lainnya penduduk dari suku Han dapat berbisnis lebih baik daripada penduduk dari suku Uighur. Kemudian suku Uighur merasa seperti menjadi warga kelas dua setelah suku Han. Suku Uighur juga merasa seperti dikolonisasi oleh pemerintah Cina, mengingat daerah Xinjiang kaya dengan sumber daya alam terutama minyak dan gas alam. Sedangkan suku Han berpikir suku Uighur merupakan suku yang terbelakang dan dimanjakan oleh negara dengan tidak diberlakukannya kebijakan satu anak kepada mereka.
Dengan begitu suku Uighur merasa asing di tanah mereka sendiri atau lebih tepatnya merasa seperti menjadi “tamu di rumah sendiri”. Kemudian dengan semakin banyaknya suku Han di Xinjiang, suku Uighur semakin sulit mendapatkan pekerjaan. Karena hampir seluruh pekerjaan telah dikuasai oleh penduduk dari suku Han.
Bahkan menurut tulisan Barbara Demick dan David Pierson pada L.A Times, penduduk dari suku Han mendapatkan transportasi, asuransi, rumah secara gratis. Mereka juga mendapatkan bantuan untuk mencari pekerjaan atau memulai bisnis mereka. Partai Komunis Cina juga melakukan larangan bagi pegawai pemerintah yang melaksanakan ajaran agama. Hal ini menyebabkan penduduk dari suku Uighur tidak dapat menjadi pegawai pemerintah. Jika mereka tetap ingin menjadi pegawai pemerintah harus siap menerima konsekuensinya. Konsekuensinya adalah harus bersedia dipecat atau dimutasi bila ketahuan pergi ke masjid atau melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan. Penduduk dari suku Uighur juga mengalami kesulitan jika ingin berkomunikasi dengan penduduk dari suku Han, karena bahasa mereka lebih dekat ke bahasa Turki daripada bahasa mandarin.
Dengan terjadinya kerusuhan ini, maka konsep “Masyarakat Harmonis” (Hexie Shehui) menemui tantangan. Karena ternyata kehidupan masyarakat di Cina tidak harmonis. Kesenjangan yang ada di masyarakat masih sangat lebar, merupakan tugas sebuah negara untuk menyempitkan jarak tersebut. Tidak hanya di Xinjiang saja, tetapi meratakan pendapatan di seluruh pelosok negeri.

Pemecahan masalah
Ketidakadilan yang telah disebutkan sebelumnya merupakan akar permasalahan yang akhirnya memuncak pada tanggal 5 Juli 2009. Oleh karena itu, pemerintah Cina harus menyelesaikan masalah-masalah ini secara seksama tanpa memihak salah satu suku.
Graham E. Fuller dan Frederick Starr menyebutkan beberapa poin yang harus ditempuh oleh pemerintah Cina. Poin-poin tersebut antara lain memperluas otonomi kepada Xinjiang seperti termaktub dalam konstitusi RRC termasuk kebebasan linguistik dan kebudayaan. Kemudian pemerintah harus membatasi migrasi ke Xinjiang. Pemerintah dalam mengembangkan Xinjiang harus memperhatikan karakteristik kebudayaan, demografi, sosial, ekologi, dan hydrologi daerah setempat. (Central Asia-Caucasus Institute, 2003)
Pemerintah Cina juga mau tidak mau harus memecahkan masalah pasca kerusuhan, yakni mengembalikan kehidupan antara suku Uighur dan Han ke tahap normal seperti sebelum kerusuhan terjadi. Sebagai manusia pastinya kita tidak mau terjadi kekerasan baik di Xinjiang maupun di dunia tempat kita hidup. Oleh karena itu, pemerintah Cina diharapkan dapat menyelesaikan masalah kerusuhan ini dengan baik tanpa menggunakan kekerasan melainkan dengan jalan damai.

Jumat, 17 Juli 2009

Satu Cina?

Sudah 60 tahun Cina dan Taiwan berselisih, Cina dengan tegas dan konsisten akan mengembalikan Taiwan ke pangkuan ibu pertiwi, sedangkan Taiwan pada 2 dekade terkahir ini mengiginkan pengakuan dunia internasional sebagai sebuah negara.
Sejak tahun 1949 Partai Nasionalis Cina (Kuomintang) yang dipimpin Chiang Kai Sek kalah dari Partai Komunis Cina (PKC) kemudian bermigrasi ke Pulau Taiwan, pada awalnya ingin merebut kembali Cina dari tangan PKC. Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu, Taiwan menemukan jalannya sendiri. Bahkan dapat dikatakan berdiri di kaki sendiri. Mereka dapat menumbuhkan perekonomian bagi rakyatnya dan mengekspor hasil produksi mereka sendiri. Tetapi semua itu sia-sia jika tidak mendapatkan suatu pengakuan atau identitas yang jelas.
Sejak Partai Progresif Demokratik (PPD) merebut kekuasaan dari tangan Kuomintang, Taiwan dengan gencar melakukan upaya untuk mendapatkan suatu pengakuan dari dunia internasional. Mereka membuat semacam referendum untuk melancarkan jalan untuk Taiwan menjadi sebuah negara. Sikap ini didukung oleh rakyatnya terutama pendukung PPD.
Di seberang Pulau Taiwan, Cina tidak akan tinggal diam membiarkannya begitu saja. Taiwan tidak boleh menjadi sebuah negara, tetapi justru sebaliknya yaitu kembali ke pangkuan Cina. Cina sudah menawarkan berbagai jalan keluar untuk Taiwan kembali. Contoh yang paling jelas adalah kebijakan “satu negara, dua sistem”. Sejak kembalinya Hong Kong pada tahun 1997, kemudian disusul dengan Macau, Cina sudah menerapkan sistem ini dan bertahan hingga sekarang.

20 tahun terakhir
Dalam 20 tahun terakhir ini, langkah-langkah yang diambil Cina sudah cukup baik. Pada tahun 1981, Ye Jianying, Ketua Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional mengeluarkan “Sembilan Prinsip”. Prinsip ini intinya berisi bahwa PKC dan Kuomintang membicarakan masalah hubungan antara Cina dan Taiwan. Hampir dari sembilan prinsip ini sifatnya persuasif mengajak Taiwan bergabung dalam satu negara. Cina banyak memberi janji manis kepada Taiwan. Tetapi Taiwan tidak menanggapi hal ini dengan serius.
Kemudian pada tahun 1992, kedua belah pihak bertemu di Singapura untuk membicarakan masalah hubungan antara keduanya. Hasil dari pembicaraan ini menghasil kan apa yang disebut dengan “Konsensus 1992”, yang intinya adalah mengacu kepada prinsip satu Cina. Pertemuan ini juga disebabkan oleh meningkatnya hubungan ekonomi dan bidang lainnya antara Cina-Taiwan. Taiwan mendirikan SEF (Straits Exchange Foundation) untuk mengurus masalah yang terjadi antara Cina dan Taiwan.
Pada tahun 1995, Presiden Jiang Zemin mengeluarkan “Delapan Poin”. Poin-poin ini hampir sama dengan “Sembilan Prinsip”-nya Ye Jianying, tetapi lebih ditegaskan kembali. Jiang menegaskan tidak akan menggunakan kekerasan dan akan mengedepankan negosiasi damai untuk mencapai reunifikasi. Kekerasan ditujukan kepada Pasukan Asing dan siapapun yang mendukung kemerdekaan Taiwan. Jiang juga mengatakan bahwa sesama orang Cina tidak boleh saling berperang.
Pada masa pemerintahan Hu Jintao mengeluarkan “Empat Poin Haluan”. Pertama, tetap mengacu kepada prinsip satu Cina. Kedua, jangan pernah menyerah untuk reunifikasi secara damai. Ketiga, jangan merubah prinsip memberikan harapan kepada masyarakat Taiwan. Kemudian yang terakhir adalah tidak akan berkompromi terhadap kemerdekaan Taiwan.
Cina secara terus-menerus melakukan usaha untuk mereunifikasi, tetapi tetap dalam koridor jalan damai. Kemudian Cina juga terus melakukan pendekatan dengan cara perdagangan, transportasi dan pos. Melihat perkembangan perekonomian Cina dalam 30 tahun terakhir ini, jalan perdagangan merupakan jalam yang paling ampuh untuk mendekatkan hubungan antar selat. Lalu pada bidang tranportasi, Cina dan Taiwan sudah memberlakukan penerbangan langsung di antara kedua negara. Hal ini melancarkan para masyarakat kedua negara untuk bepergian.
Menurut Xin Qiang, hubungan antar selat ini dalam periode bulan madu. Beijing menginginkan membangun kepercayaan antara kedua pihak, yang merupakan syarat utama untuk memajukan hubungan antara kedua belah pihak. Di satu sisi juga menyingkirkan perbedaan antara kedua pihak. Maka dengan begitu kedua belah pihak dapat menemukan atau menciptakan win-win solution. (China Security,Winter 2009)

Kuomintang
Sejak Kuomintang merebut kekuasaan dari tangan PPD dan menempatkan Ma Ying Jeou sebagai Presiden Taiwan, hubungan antar selat mengalami kemajuan. Meskipun jalan untuk reunifikasi masih dirasa sulit. Hal ini disebabkan oleh kampanye “Tiga Tidak” oleh Ma pada pemilihan presiden lalu, yaitu tidak reunifikasi, tidak merdeka, tidak menggunakan kekerasan.
Setidaknya Beijing dapat bernafas lega dalam masa pemerintahan Ma, Taiwan tidak meneruskan perjuangan untuk merdeka. Tetapi di sisi lain juga tidak ada reunifikasi di antara kedua pihak. Hal ini menandakan bahwa Ma menginginkan mempertahankan status quo yang dimiliki Taiwan sekarang. Oleh karena itu, Cina harus memanfaatkan dengan baik dan memperdalam hubungan dengan Taiwan pada masa pemerintahan Kuomintang ini.
Pada tanggal 12 Juni 2009, Li Hongmei, editor dari Harian Rakyat, mengeluarkan tulisan mengenai Ma Ying Jeou memperkenalkan aksara sederhana kepada masyarakat Taiwan. Li menyebutnya proposal yang bijaksana. Perlu diketahui sebelumnya bahwa Cina memiliki dua tipe aksara, yakni aksara sederhana dan aksara tradisional. Sejak merdeka, Cina menggunakan aksara sederhana meskipun di beberapa daerah di selatan masih banyak menggunakan aksara tradisional. Sedangkan Taiwan terus menggunakan aksara tradisional hingga saat ini.
Dengan memperkenalkan aksara sederhana kepada masyarakat Taiwan, dapat memudahkan komunikasi antara kedua belah pihak. Hal ini juga bisa menandakan bahwa Taiwan mulai menunjukkan indikasi untuk melakukan reunifikasi. Akan tetapi hal tersebut masih belum dapat dibuktikan, karena masyarakat Taiwan belum sepenuhnya yakin untuk melakukan reunifikasi dan masih ada PPD yang berjuang sekuat tenaga untuk meraih kemerdekaan untuk Taiwan. Lalu masih ada Amerika yang masih ikut campur. Kita lihat bagaimana akhir dari hubungan antar selat ini, apakah reunifikasi? Merdeka? Atau tetap pada status quo?

Rabu, 08 Juli 2009

Setelah 20 Tahun

20 tahun telah dilewati oleh Cina setelah terjadi tragedi di lapangan Tiananmen. Apa yang terjadi selama kurun waktu 20 tahun ini di Cina?
Aksi demonstrasi mahasiswa yang diawali oleh peringatan kematian mantan perdana menteri Hu Yaobang. Kemudian menjadi masif dalam peringatan 70 tahun Gerakan 4 Mei 1919, yang menandakan demokrasi dan sains di Cina. Kemudian pada puncaknya tanggal 4 Juni 1989, ribuan orang memadati lapangan Tiananmen menuntut adanya demokrasi, dihapusnya korupsi dan nepotisme dalam birokrasi pemerintahan, dan kebebasan yang lebih kepada rakyat.
Akibat yang ditimbulkan pada bidang ekonomi sungguh besar, pertumbuhan ekonomi menurun secara drastis setelah terjadinya tragedi tersebut. Tetapi hanya tiga tahun berselang, Deng Xiaoping mengambil langkah penting. ”Tur ke selatan” yang terkenal itu membawa Cina kembali ke jalur pertumbuhan. Dengan perlahan tapi pasti ekonomi Cina kembali tumbuh dengan cepat. Deng Xiaoping juga memilih Jiang Zemin dan Zhu Rongji sebagai pengganti dari Zhao Ziyang yang menjadi tahanan rumah setelah tragedi tersebut.
Langkah-langkah cepat diambil untuk memperbaiki dan meningkatkan kembali perekonomian Cina. Privatisasi terhadap perusahaan milik negara yang sudah tidak produktif lagi. Kemudian memberikan peran lebih kepada pengusaha swasta, yang sebelumnya mendapatkan tekanan dari pemerintah.
Pada tahun 1997, pengembalian Hong Kong ke Cina, yang kemudian dilanjutkan dengan penerapan kebijakan ”satu negara, dua sistem”. Kebijakan ini memberikan Hong Kong otonomi khusus dalam menjalankan pemerintahannya. Tidak lama setelah Hong Kong, Macau menyusul kembali kepada Cina. Sampai saat ini hanya Taiwan yang belum kembali ke pangkuan Cina.
Pada tahun yang sama, Jiang Zemin menegaskan kembali bahwa Cina masih dalam ”sosialisme tahap awal”. Pemikiran ini merupakan buah pemikiran dari Zhao Ziyang yang melegitimasi pasar dan kapitalisme masuk ke Cina. Pemikiran ini diterapkan pada tahun 1987, dan 10 tahun kemudian Jiang menegaskannya kembali.
Kemudian Jiang Zemin juga menerapkan pemikirannya yang disebut dengan ”Tiga Perwakilan”. Dengan diberlakukannya pemikiran ini, maka pengusaha swasta dinyatakan sah menjadi bagian dari Partai Komunis Cina (PKC). Hal ini sampaikan pada saat PKC merayakan 80 tahun berdiri di Cina. Merupakan suatu kontradiksi dimana sebuah partai komunis mengesahkan aktor kapitalis masuk.
Tidak berhenti sampai disitu, Jiang juga membawa Cina masuk ke World Trade Organization (WTO). Cina menjadi bagian dalam badan perdagangan dunia yang menginginkan adanya pasar bebas. Hal ini juga menandakan Cina kembali ke panggung dunia dan menunjukkan keterbukaannya terhadap dunia luar.
Setelah Hu Jintao dan Wen Jiabao menjabat sebagai Presiden dan Perdana Menteri. Hu dan Wen berhadapan dengan cukup banyak permasalahan. Gap antara kaya dan miskin masuk ke dalam agenda kerja. Kemudian pencemaran lingkungan yang semakin parah akibat perkembangan industri yang sangat cepat menjadi isu yang dicermati oleh Hu-Wen. Maka dengan pemikiran ”Masyarakat Harmonis” dan ”Pembangunan Berciri Ilmiah”, Hu Jintao melakukan perbaikan terhadap masalah-masalah yang selama ini terabaikan. Masalah-masalah ini seperti ketimpangan antara kaya-miskin, desa-kota, pedalaman-pesisir.
Pada tahun 2008, merupakan tahun yang cukup berat dimana Cina mengalami banyak musibah, salah satu yang terparah adalah gempa di provinsi Sichuan dan virus flu burung yang melanda sebagian besar negara Asia. Tantangan juga datang dalam penyelenggaraan olimpiade 2008 di Beijing. Sebagai tuan rumah, Cina menyelenggarakan pesta olahraga akbar ini dengan baik dan tampil sebagai juara umum. Pada tahun ini juga dilaksanakan reformasi pada tingkat pedesaan.
Tahun 2009 merupakan tahun yang berat bagi negara di seluruh dunia, pada tahun ini terjadi krisis finansial global. Tetapi Cina dengan cadangan devisa yang banyak dapat dengan mudah menghadapi krisis ini. Pada tahun ini, Cina juga melaksanakan reformasi di bidang pelayanan kesehatan.

Tuntutan
Tuntutan yang disuarakan oleh para mahasiswa di lapangan Tiananmen, belum dapat dipenuhi oleh Cina hingga saat ini. Tuntutan akan diberantas korupsi, kolusi dan nepotisme masih sulit untuk dipenuhi. Penyuapan masih sering terjadi, apalagi pada tingkat pemerintahan lokal.
Dalam hal ini Oliver August, dalam bukunya In The Red Mansion : On The Trail of China’s Most Wanted Man, 2007, digambarkan bahwa masih banyak koruptor yang berkeliaran di Cina dan praktek penyuapan sering terjadi untuk membuka bisnis di suatu kota. Salah satu koruptor yang diburu pada saat itu adalah Lai Changxing yang melakukan penyelundupan dan menyuap para pejabat baik lokal maupun dalam pemerintahan pusat.
Tuntutan akan kebebasan yang lebih besar juga menemui kebuntuan. Pemerintah mengawasi secara penuh jaringan internet di Cina. Bahkan mensensor kata-kata yang berhubungan dengan demokrasi dan Falun Gong. Pemerintah juga dapat dengan cepat menghapus berita-berita mengenai hal-hal tersebut. Begitu juga dengan organisasi-organisasi masyarakat yang melawan dan bertentangan dengan pemerintah dengan cepat diberantas. Dalam hal ini adalah Falun Gong yang terus melakukan perlawanan terhadap pemerintah Cina. Organisasi lainnya adalah ”Gereja Bawah Tanah” yang menginginkan berada langsung di bawah Vatikan. Akan tetapi hal tersebut tidak diijinkan oleh pemerintah Cina. Oleh karenat itu, para pengikut kelompok ini melakukan ibadah secara diam-diam dan tidak memiliki gereja sendiri.
Masalah di Tibet dan Xinjiang juga masih belum tuntas. Xinjiang masih terus melakukan perlawanan terhadap pemerintah. Begitu juga dengan Tibet, yang pada bulan Maret 2008, melakukan aksi protes yang menghilangkan cukup banyak jiwa baik warga Tibet maupun para tentara. Pengamanan penuh terhadap Tibet masih terus dilakukan oleh pemerintah Cina.


Demokrasi

Perjalanan menuju demokrasi yang sesungguhnya masih sangat jauh bila melihat dalam konteks Cina. Cina memberlakukan pemilihan pada tingkat pedesaan, yaitu untuk memilih komite desa pada tahun 1988. Kemudian 10 tahun kemudian, Cina mengesahkan pemilihan di tingkat kabupaten.
Setiap tahun jumlah pemilih meningkat, hal ini menunjukkan antusiasme para warga desa cukup tinggi dalam memilih. Bahkan para buruh migran yang bekerja di kota, kembali desanya hanya untuk mengambil hak pilihnya. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada sekretaris partai yang berkuasa di setiap daerah yang pasti dipilih oleh partai. Setiap kandidat yang terpilih, kekuasannya masih di bawah para sekretaris partai.
Cina ingin mengembangkan demokrasi di tingkat akar rumput. Tetapi untuk sampai ke tingkat pusat, jalan yang ditempuh masih sangat panjang. Harus melewati tingkat kota, provinsi, kemudian baru pusat. Bahkan untuk sampai diterapkannya pemilihan langsung oleh rakyat, sepertinya dibutuhkan waktu yang cukup panjang.

Jumat, 05 Juni 2009

Anti Neoliberalisme di Cina

Sikap anti neoliberalisme ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Sikap yang serupa juga terjadi di Cina, yang disuarakan oleh kalangan intelektual ”kiri baru”.
Dengan diberlakukannya kebijakan reformasi dan keterbukaannya, Cina membiarkan tumbuhnya pasar dan pengusaha swasta yang terkungkung pada masa Mao Zedong. Kemudian Cina juga memberlakukan “Zona Ekonomi Khusus” (Special Economic Zones) untuk mengakomodir para investor asing yang ingin menanamkan modalnya di Cina. Tidak lupa Cina juga memprivatisasi perusahaan milik negara yang sudah bangkrut atau hampir bangkrut. Pada tahun 2001, Cina juga menjadi bagian dari WTO. Kemudian pada tahun 2002, Cina mengijinkan para pengusaha swasta untuk bergabung dalam Partai Komunis Cina (PKC). Bila diilihat dari langkah-langkah yang diambil Cina selama 30 tahun terakhir ini, Cina bergerak ke arah neoliberalisme yang mengedepankan ekonomi pasar bebas.
Menurut tulisan dari Bo Zhiyue dan Chen Gang dalam East Asian Institute Bulletin edisi Maret 2009, kaum neoliberal di Cina menginginkan negara mengurangi peranannya demi bertumbuhnya ekonomi pasar. Beberapa tokoh neoliberal menjadi penasehat bagi para pemimpin di Cina, termasuk mantan Perdana Menteri Zhu Rongji. PM Zhu Rongji mempercepat reformasi dan memiliki peranan dalam bergabungnya Cina ke WTO. Semasa menjabat menjadi perdana menteri, ia juga membuat sekitar 10 juta buruh perusahan milik negara kehilangan pekerjaannya akibat kebijakan privatisasi. Ideologi “Tiga Perwakilan” yang diterapkan oleh Jiang Zemin, merupakan keberhasilan dari kaum neoliberal untuk melegitimasi pengusaha swasta untuk masuk dalam PKC.
Kalangan neoliberal di Cina terpengaruh oleh Ronald Reagan dan Margaret Thatcher yang menekankan pada meminimalisir intervensi negara dan memaksimalkan pasar bebas. Pengaruh lainnya datang dari pemikir-pemikir lainnya seperti Keith Joseph, Enoch Powell, Friedrich Hayek, dan Milton Friedman. Contoh pengaruhnya seperti pemikiran dari Deng Xiaoping yang membiarkan beberapa orang untuk menjadi kaya (let some get rich first, so others can get rich later) hampir mirip dengan trickle down effect dari Ronald Reagan.
Perubahan ini tidak hanya membawa dampak yang positif, tapi juga membawa dampak yang negatif. Dampak negatif ini seperti jarak yang semakin melebar antara kaya dan miskin. Kemudian ketimpangan antara desa dan kota, semakin banyak petani yang putar haluan menjadi buruh migran dan mengadu nasib di kota-kota besar. Pelayanan kesehatan yang semakin mahal dan pencemaran lingkungan. Dampak-dampak negatif ini yang menandakan kemunculan dari gerakan inteektual baru di Cina, yakni kiri baru (New Left). Krisis finansial yang sekarang melanda dunia sekarang ini semakin mendorong kiri baru untuk menyuarakan kritiknya terhadap pemerintah.

Kiri Baru
Kemunculan kaum kiri baru ini disebabkan oleh dampak negatif akibat ekonomi pasar yang ditetapkan oleh Cina selama 30 tahun terakhir ini. Kaum intelektual kiri baru memiliki pemikiran yang berseberangan dengan kaum neoliberal. Tetapi pemikirannya juga berbeda dengan komunisme. Hal ini lah yang menyebabkan kaum intelektual ini disebut dengan kiri baru.
Sebutan kalangan ini dibilang “baru” karena berbeda dengan kiri lama (old left), mereka mendukung reformasi pasar. Kemudian dibilang “kiri” karena berbeda dengan kanan baru (new right), mereka mengkritik tentang ketimpangan (inequality). Tetapi kalangan intelektual kiri baru ini lebih memilih disebut dengan Kiri Liberal (Liberal Left).
Golongan ini terdiri dari beberapa grup yaitu beberapa menekankan kepada peran negara, sementara yang lainnya menekankan pada nasionalisme, keadilan sosial, dan eksperimen Maois. Pemikir-pemikir dari kalangan kiri baru ini seperti Wang Hui yang ingin negara memainkan peran yang lebih besar dalam mencegah ketimpangan. Wang Shaoguang ingin pelayanan kesehatan yang murah. Cui Zhiyuan memikirkan tentang reformasi hak milik pribadi. Hu Angang ingin perkembangan hijau (green development). Menurut Mark Leonard, dalam Prospect Magazine Issue 144, March 2008, mengatakan bahwa pemikiran dari kalangan intelektual kiri baru ini ingin mengembangkan sosial demokrasi ala Cina.
Para intelektual dari golongan ini banyak yang menimba ilmu di barat. Seperti Cui Zhiyuan dan Gan Yang yang mendapatkan gelar Ph.d dari Universitas Chicago, kemudian Wang Shaoguang menyelesaikan gelar doktornya di Universitas Cornell.

Pengaruh
Kritik-kritik dari kalangan intelektual ini dilancarkan melalui internet. Dengan menggunakan internet, kritik-kritik dapat langsung dibaca pada saat itu juga. Salah satu situs internet yang terkenal yang sering dikunjungi adalah Utopia. Selain internet, mereka juga mengeluarkan jurnal-jurnal seperti Dushu, Tianya, Ershi yi shiji, Res Publica, Yanhuang Chunqiu, Nanfang Zhoumo. Melalui jurnal-jurnal inilah mereka menyampaikan kritik, debat, berbagi saran, sampai mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Li He dalam esainya yang dimuat dalam East Asia Institute Background Brief No. 401 (26/08/08), menyampaikan pengaruh yang diberikan oleh kalangan intelektual ini. Pertama, diskursus yang disampaikan oleh mereka meningkatkan kesadaran publik akan konsekuensi terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Cina. Kedua, debat-debat yang dilancarkan oleh kalangan ini memperkenalkan cara berpikir yang baru kepada para pengambil keputusan dan menambah pilihan alternatif kebijakan yang lain. Ketiga, meskipun Cina tidak mengklaim dirinya liberalisme atau kiri baru, diskursus yang disampaikan masing-masing kalangan intelektual ini menambah ide-ide, saran dan pendekatan yang baru yang dapat dipertimbangkan oleh para pemimpin di Cina.
Bila dilihat dari kebijakan yang diambil pada masa Hu Jintao dan Wen Jiabao dari tahun 2002 sampai sekarang. Perubahannya terlihat semakin menyeimbangkan ke “kiri”. “Masyarakat Harmonis” dan “Pembangunan Berciri Ilmiah” yang menjadi tema pembangunan Cina pada masa kepemimpinan Hu-Wen bertujuan untuk memperpendek jarak antara golongan kaya dan miskin. Kemudian pada tahun 2008, Cina memberlakukan reformasi di pedesaan. Dilanjutkan pada tahun 2009, Cina mereformasi pelayanan kesehatannya agar masyarakat di pedesaan mendapatkan pelayanan kesehatan yang murah, obat-obatan yang terjangkau harganya, dan memberikan asuransi kepada masyarakat baik di desa maupun di kota.
Kalangan intelektual ini masih dapat berkembang menjadi lebih besar dan memperluas pengaruhnya. Bukan tidak mungkin salah satu pemikir dari kalangan ini bisa menempati posisi penting dalam pemerintahan Cina. Mari kita lihat bagaimana perkembangan Cina dan kalangan kiri baru ini pada masa yang akan datang.

Selasa, 12 Mei 2009

60 Tahun Angkatan Laut Cina

Mulai dari tanggal 20-23 April 2009, selama 4 hari tersebut Cina merayakan hari jadi Angkatan Laut (AL) Cina yang ke-60. Pada tanggal 23 April 2009, Cina menyelenggarakan parade AL terbesar sepanjang sejarah Cina. Dalam parade ini, Cina memperlihatkan kekuatan AL yang dimilikinya, mulai dari Kapal Selam, Kapal Penghancur, Frigate, dan Kapal yang memiliki fasilitas seperti Rumah Sakit, Cina juga mengeluarkan kapal selam terbarunya, yang berkekuatan tenaga nuklir dalam parade ini. Perayaan yang diadakan di Qingdao, Provinsi Shandong ini bertemakan “Peace, Harmony, Cooperation”.
Seperti diberitakan di situs news.xinhua.net (23/04/2009), 14 negara menghadiri perayaan akbar ini dengan mengirimkan kapal-kapal perangnya, mulai dari Rusia, Jepang, India, Korea Selatan, Pakistan, Bangladesh, Amerika Serikat, Mexico, Brazil, dan lain-lain. Negara-negara ini mengikuti rangkaian acara yang terdiri dari Seminar, Lomba Sampan, dan review armada AL.
Bila dilihat betapa meriahnya parade yang diadakan oleh Cina ini, dapat dikatakan bahwa Cina ingin memperlihatkan hard power yang dimilikinya. Hal ini juga menunjukkan bahwa perkembangan AL Cina sangat pesat selama 60 tahun sejak berdirinya pada tanggal 23 April 1949. Perkembangan kekuatan militer Cina pada umumnya dan AL Cina pada khususnya berjalan seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang begitu cepat, sejak dilakukannya “Reformasi dan Keterbukaan” pada akhir tahun 1978.
Meskipun dengan perkembangan AL Cina yang begitu pesat, menurut “White Paper : China National Defense in 2008”, Cina tidak akan menjadi sebuah kekuatan hegemoni, maka negara lain tidak perlu merasa terancam dengan perkembangan militer Cina. Karena Cina dengan teguh memegang prinsipnya untuk mewujudkan “harmonius ocean”.
Akan tetapi AL Cina juga masih memiliki banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Salah satunya adalah Cina belum memiliki kapal induk, hal ini menjadi tujuan utama AL Cina dalam mengembangkan angkatan tempurnya. Seperti diwartakan oleh news.xinhua.net (16/04/2009), Laksamana Wu Shengli, Komandan AL Cina, mengatakan bahwa Cina juga akan mengembangkan kapal perang dalam skala besar, kapal selam dengan kemampuan stealth, Kapal dengan kekuatan supersonik, Misil jarak jauh, torpedo untuk laut dalam, dan mengembangkan Teknologi Informasi.

Misi dan Insiden
Pada 26 Desember 2008, Cina mengirimkan armada Angkatan Lautnya ke Teluk Aden dalam rangka menumpas perompak yang sering muncul di dalam kawasan tersebut. Hal ini menurut David Lai, Profesor di United States Army War College, mengatakan bahwa langkah ini merupakan langkah yang signifikan dalam misi baru Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) di abad ke-21 ini dan Cina juga menjadi sebuah kekuatan dunia yang “berfungsi sepenuhnya” dalam masalah keamanan internasional.
Tetapi tujuan utama pengerahan armada ini adalah untuk mengamankan kapal-kapal dagang Cina yang melintasi Teluk Aden tersebut. Perompakan ini akan menjadi hambatan Cina dalam melakukan perdagangan dengan negara lain. Selain itu, Cina juga memikirkan perompak di kawasan Selat Malaka. Meskipun sebenarnya tiga negara, Indonesia, Singapura dan Malaysia yang wajib untuk menjaga keamanan kawasan tersebut. Tetapi bila tiga negara ini tidak sanggup lagi mengamankan wilayah selat tersebut, Cina mau tidak mau akan ikut serta mengamankan wilayah tersebut
Di satu sisi Cina melakukan misi penumpasan perompak untuk dunia internasional, di sisi lain Cina juga terlibat dalam suatu insiden di Laut Cina Selatan yang melibatkan kapal USNS Impeccable dengan lima kapal nelayan Cina. Konfrontasi ini dianggap konfrontasi “paling serius” yang terjadi di antara kedua negara. Setelah tahun 2001, terjadi konfrontasi di udara antar pesawat dari kedua negara yang memaksa pesawat pengintai AS mendarat di Pulau Hainan. (global.nytimes.com 10/03/2009)
Menurut Andrew Browne dan Gordon Fairclough dalam artikel di Wallstreet Journal Online (18/04/2009), mengatakan bahwa insiden ini disebabkan oleh strategi kejutan dan rahasia yang diterapkan oleh Cina yang membuat Amerika lengah. Strategi ini disebut dengan strategi “Assassin’s Mace”, ibarat menyembunyikan pedang. Dengan demikian pihak militer percaya bahwa pasukan yang memiliki teknologi yang lebih kuno dapat mendapatkan keuntungan dari pasukan lawan yang memiliki teknologi yang lebih canggih.
Tetapi insiden ini sebenarnya lebih mengarah pada kebijakan pertahanan nasional yang diterapkan oleh Cina yaitu active defense. Cina dengan waspada dan sigap mengamankan wilayahnya dari ancaman yang dilakukan pihak luar. Meskipun Amerika sendiri tetap membela diri bahwa kapalnya masih berada di wilayah internasional. Sedangkan pihak Cina menganggap Amerika telah memasuki wilayah Zona Ekonomi Ekslusif Cina dan melakukan tindakan pengintaian.
Oleh karena itu, dengan adanya parade AL dan dihadiri 14 negara, maka akan terwujud suatu dialog yang dapat membuat pengertian antara AL satu negara dengan negara lainnya. Komandan Richard Dromerhauser dari AL Amerika, mengatakan bahwa acara ini merupakan kesempatan yang baik untuk berbagi ide, dan melakukan komunikasi langsung dengan Cina jauh lebih baik daripada harus membaca mereka. (news.xinhua.net 20/04/2009)

Indonesia-Cina
Hubungan Indonesia-Cina juga dalam hubungan yang mesra dalam 4 tahun belakangan ini. Sejak ditandatanganinya Kemitraan Strategis antara kedua negara pada tahun 2005, membuat hubungan antara kedua negara ini semakin dekat.
Pada tahun 2007, Indonesia telah melakukan langkah yang cukup signifikan dalam melakukan kerja sama militer dengan Cina, yakni ditandatanganinya sebuah perjanjian di bidang pertahanan antara kedua negara. Akan tetapi akan lebih baik lagi bila Indonesia bisa mengembangkan hubungan kedua negara ini dalam industri militer dan pengembangan misil. Mengingat Cina mampu meluncurkan Roket berawak 3 Taikonot ke luar angkasa dan meluncurkan misil untuk menghancurkan satelit di luar angkasa. Sebaiknya Indonesia dapat memanfaatkan hubungan yang mesra ini untuk kemajuan Indonesia.

Cina dan Pelayanan Kesehatan

Akhir-akhir ini, seluruh dunia dikejutkan dengan penyakit Flu Babi, yang menyerang warga Meksiko. Semua negara melakukan tindakan preventif untuk mencegah penyebaran lebih luas lagi. Cina menyikapinya dengan tenang dan waspada. Berbekal dengan pengalaman menangani SARS dan Flu Burung, Cina terus melakukan pemantauan dan pencegahan. Jika ditemukan gejala-gejala seperti Flu Babi pada seseorang, orang tersebut akan langsung diisolasi dan diobati.
Menurut news.xinhua.com (28/04/2009), Cina memiliki delapan langkah pencegahan, yaitu pertama, terus mengamati perkembangan terakhir dari flu babi ini dan bekerja sama dengan negara tetangga. Kedua, mekanisme kontrol dan pencegahan secara bersama-sama. Ketiga, meningkatkan kinerja pejabat inspeksi dan karantina. Keempat, mengeluarkan travel warning. Kelima, meningkatkan kewaspadaan para tenaga medis. Keenam, memperketat pengawasan di peternakan, rumah jagal dan pertanian. Ketujuh, mempersiapkan obat-obatan untuk mengobati penyakit tersebut. Terakhir, pemerintah terus melaporkan perkembangan terakhir dari penyakit Flu Babi ini kepada publik.
Cina tidak berhenti disitu saja, tetapi justru menawarkan bantuan sebesar AS$ 5 juta kepada Meksiko. Bantuan ini terdiri dari AS$ 1 juta dalam bentuk uang dan AS$ 4 juta dalam bentuk bantuan material. Sedangkan di lain pihak, Meksiko menuduh Beijing melakukan diskriminasi terhadap warganya dan menganjurkan mereka untuk tidak pergi ke China. Pemerintah Meksiko menyampaikan hal tersebut setelah sebuah hotel di Hong Kong ditutup menyusul adanya konfirmasi bahwa seorang tamu warga Meksiko mengidap virus flu babi.(Antara.co.id, 03/05/09)
Tetapi WHO berpendapat lain, Organisasi Kesehatan Dunia ini berpendapat bahwa tindakan yang diambil Cina untuk mengatasi situasi ini cukup baik. Cina langsung mengambil langkah-langkah pencegahan dan mempersiapkan segala sesuatu untuk mencegah penyebaran virus A/H1N1 ini. Di samping itu, Cina juga tidak hanya memerangi Flu Babi, tetapi juga penyakit lainnya seperti AIDS. Oleh karena itu, Cina mereformasi bidang pelayanan kesehatan yang dimulai pada awal April 2009.
.
Sebelum dan Sesudah 1978
Pemerintah Cina mengeluarkan dana sebesar 850 miliar Yuan atau AS$ 124 miliar untuk mensukseskan reformasi ini. Rencana ini dijadwalkan selama tiga tahun dari 2009 sampai 2011. Menurut Peopledaily.com, tujuan utama dalam reformasi dalam tiga tahun ini adalah pertama, memberikan asuransi kesehatan kepada masyarakat kota dan desa. Kedua, memajukan akses dan kualitas pelayanan kesehatan. Ketiga, mengurangi biaya pelayanan kesehatan. Keempat, membuat pelayanan kesehatan yang adil dan murah.
Pelayanan kesehatan sebelum 1978 jauh lebih baik dibandingkan sekarang. Hal ini disebabkan oleh masih berdirinya komune-komune. Masing-masing komune memiliki rumah sakit atau klinik. Pelayanan kesehatan ini semuanya ditanggung oleh negara, rakyat tidak perlu berpikir untuk membayar dokter atau obat. Kemudian masih ada dokter ”nyeker” (barefoot doctors) yang ditugaskan ke desa-desa untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat desa.
Akan tetapi semua ini berubah ketika Cina mencanangkan ”Reformasi dan Keterbukaan”. Pelayanan kesehatan juga ikut berubah, yang dulunya menerapkan sistem terpusat berubah menjadi sistem pasar. Hal ini memaksa Rumah Sakit dan klinik untuk menyesuaikan diri dengan cara menarik bayaran dan menjual obat dengan harga yang dapat ditentukan sendiri oleh rumah sakit. Oleh karena itu, pelayanan kesehatan dari tahun ke tahun semakin mahal.
Kemudian dokter ”nyeker” (barefoot doctors) ini menghilang dan berganti profesi menjadi petani dan buruh. Hal ini disebabkan oleh pendapatan yang lebih besar bila menjadi petani daripada seorang dokter. Menurut Michael J Moreton, seorang bidan di Beijing United Family Hospital, mengatakan bahwa banyak dokter yang beralih profesi untuk mendapatkan gaji yang lebih baik, ada yang menjadi agen tiket dan ada yang menjadi seorang manajer di sebuah perusahaan import.

Asuransi
Masalah lain yang timbul adalah masyarakat Cina tidak sepenuhnya dilindungi oleh asuransi kesehatan. Menurut Christopher Bodeen, Penulis Associated Press, saat ini hanya 30 persen dari populasi 1.3 miliar jiwa yang dilindungi oleh asuransi kesehatan. Sedangkan tujuan awalnya mentargetkan untuk melindungi 90 persen dari populasi pada akhir tahun 2011.
Asuransi kesehatan pada masa pra-reformasi ekonomi dibedakan antara desa dan kota. Untuk masyarakat perkotaan dibagi menjadi dua, Asuransi Pemerintah (Goverment Insurance Scheme) dan Asuransi Buruh (Labour Insurance Scheme). Asuransi pemerintah ini ditujukan kepada staf dan pegawai di institusi pemerintahan, sekolah, universitas, dan institut riset. Sedangkan Asuransi Buruh ditujukan kepada pegawai yang bekerja di pabrik-pabrik milik negara. Kemudian masyarakat perkotaan sisanya dilindungi oleh program bantuan oleh pemerintah.
Untuk masyarakat desa disediakan Asuransi Kesehatan Kooperatif (Cooperative Medical Scheme). Asuransi Kesehatan Kooperatif ini merupakan ekonomi kolektif dan program asuransi prabayar. Asuransi ini melindungi sekitar 85 persen dari masyarakat desa pada tahun 1976.
Setelah tahun 1978, terjadi perubahan dalam asuransi kesehatan ini. Untuk masyarakat perkotaan Asuransi Pemerintah dan Asuransi Buruh digantikan dengan Asuransi Kesehatan Sosial (Social Health Insurance). Asuransi ini melindungi semua pekerja di kota, baik pemerintah maupun swasta. Tetapi asuransi ini hanya melindungi setengah dari populasi masyarakat kota, belum termasuk buruh migran yang jumlahnya terus bertambah setiap tahunnya.
Kemudian masyarakat desa tidak lagi dilindungi oleh Asuransi Kesehatan Kooperatif. Asuransi ini kolaps pada tahun 1994, kurang dari 10 persen populasi di pedesaan yang masih dilindungi oleh asuransi tersebut. Jadi masyarakat desa harus membayar sendiri pelayanan kesehatannya.
Akan tetapi pada tahun 2003, diluncurkan program Asuransi Kesehatan Kooperatif Baru (New Cooperative Medical Scheme) untuk menggantikan Asuransi Kesehatan Kooperatif sebelumnya. Premi asuransi ini dibayar melalui tiga sumber, yaitu Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Individu. Sampai pada tahun 2007, 685 miliar jiwa (79 persen dari populasi pedesaan) dilindungi oleh Asuransi Kesehatan Kooperatif Baru.
Dengan melihat langkah-langkah yang diambil Cina, bukannya tidak mungkin reformasi ini dapat segera tercapai dan terlihat hasilnya. Dengan demikian, dapat meningkatkan kesehatan dari setiap warga negaranya.

Jumat, 10 April 2009

30 Tahun Militer Cina

Konfrontasi yang terjadi di Laut Cina Selatan antara Cina dan Amerika Serikat (AS) sempat menjadi sorotan media-media internasional. Konfrontasi ini dianggap konfrontasi “paling serius” yang terjadi di antara kedua negara. Setelah tahun 2001, terjadi konfrontasi di udara antar pesawat dari kedua negara yang memaksa pesawat pengintai AS mendarat di Pulau Hainan. (global.nytimes.com 10/03/2009)
Hal ini menandai bahwa meskipun hubungan ekonomi dan perdagangan membaik, tetapi di sisi lain justru memburuk. Salah satu alasan AS mengirim kapal USNS Impeccable adalah untuk mengetahui lebih jauh mengenai pangkalan kapal selam baru milik Cina di dekat kota Sanya. Hal ini juga terkait dengan anggaran militer Cina pada Kongres Rakyat Nasional ke-11, diumumkan meningkat 14,9 %, yaitu sekitar 481 miliar Yuan atau AS$ 70.27 miliar. (peoplesdaily.com, 04/03/2009)

14,9 %
Seiring dengan berkembangnya perekonomian Cina dalam 3 dasawarsa terakhir ini, anggaran untuk militer juga semakin membesar. Hal ini sesuai dengan prinsip yang dipropagandakan oleh Presiden Hu Jintao selama masa jabatannya, yaitu ”Pembangunan Berciri Ilmiah”. Berdasarkan prinsip ini, Cina akan menyeimbangkan antara pembangunan ekonomi dan pengembangan pertahanan nasional. Di satu sisi terus melakukan usaha untuk memakmurkan bangsa dan di sisi lain berusaha memperkuat militernya.
Menurut You Ji, Professor University Of New South Wales, anggaran militer Cina pada tahun 2008 sebesar AS$ 60 Miliar, dan akan menjadi meningkat dua kali lipat setiap enam sampai tujuh tahun. Dapat diprediksikan bahwa pada tahun 2015, Cina akan memiliki anggaran militer sebesar AS$ 120 Miliar.
Pada tahun ini, Cina mengumumkan peningkatan anggaran sebesar 14,9 %, yang cukup membuat AS geram. Departemen Pertahanan AS menilai bahwa anggaran Cina dinilai tidak transparan sehingga beresiko menciptakan ketidakpastian dan salah perhitungan. Sedangkan pemerintah Cina menolak anggapan AS tersebut dan hal ini merupakan pengacauan fakta sehingga dapat merusak hubungan baik kedua negara.(Kompas, 27/03/2009)
Cina memang membutuhkan anggaran yang tidak kecil untuk memodernisasikan Tentara Pembebasan Rakyat (TPR). Mengingat bahwa instrumen-instrumen militer yang dimiliki Cina dapat dikatakan kuno dibandingkan dengan AS dan Rusia, apalagi dengan negara di kawasan Asia Timur seperti Jepang dan Korea Selatan. Di samping itu Cina juga harus siap untuk mengamankan wilayah yang luas dan rakyat yang banyak.
Menurut White Paper : China’s National Defense 2008, anggaran pertahanan Cina selalu di tingkat yang masuk akal. Peningkatan anggaran dalam dua tahun terakhir ini semata-mata untuk : pertama, meningkatkan gaji dan keuntungan bagi para tentara. Kedua, kompensasi akibat naiknya harga-harga. Ketiga, untuk melanjutkan usaha Revolution in Military Affairs (RMA).
Jika dilihat dari ancaman yang akan dihadapi, modernisasi militer mau tidak mau dibutuhkan. Cina mempersiapkan diri untuk menghadapi ancaman dari dalam seperti gerakan separatis Xinjiang dan masalah Tibet. Dan juga menghadapi ancaman dari luar seperti Taiwan, Nuklir Korea Utara, ditambah dengan perompak di Selat Malaka dan Somalia.

Tentara Pembebasan Rakyat
TPR ini terdiri dari empat divisi, yakni Angkatan Laut, Angkatan Udara, Angkatan Darat dan Pasukan Artilleri Kedua (Second Artilleri Forces/SAF). Berdasarkan White Paper : China’s National Defense 2008, banyak perubahan yang dicapai oleh TPR selama 30 tahun ”Reformasi dan Keterbukaan”. Pada tahun 1970-1980an, TPR mengubah prinsipnya, dari ”Perang nuklir dalam skala besar” menjadi konstruksi militer pada masa damai, lalu secara bertahap mulai memodernisasikan para angkatan bersenjatannya.
Kemudian memasuki tahun 1990an, TPR mempropagandakan Revolution in Military Affairs (RMA) berkarakteristik Cina. RMA ini mengadopsikan strategi untuk memperkuat militer berdasarkan IPTEK dan mengkoordinasikan perkembangan ekonomi dan pertahanan nasional.
Lalu pada tahun 2000an, TPR memodernisasikan diri dengan prinsip ”Pembangunan Berciri Ilmiah”. Sebelumnya masih dalam tahap mengkoordinasikan, selanjutnya pada tahap ini menyeimbangkan antara ekonomi dan militer.
Professor You Ji juga mengatakan bahwa kunci dari tranformasi militer Cina adalah memodernisasi bidang Teknologi Informasi (IT) untuk mewujudkan kekuatan militer berteknologi tinggi. Kemudian perubahan misi dari setiap angkatan juga menjadi tujuan tranformasi militer Cina. Angkatan Udara mengubah misinya dari tactical force menjadi strategic force. Angkatan Laut senada dengan Angkatan Udara, dari coastal defense menjadi blue water defense, yang menekankan pada kekuatan serangan. Kemudian SAF juga menjalankan misi penyerangan dengan ditambahnya peluru kendali, baik nuklir maupun yang konvensional.
Tetapi di samping perubahan secara makro yang disampaikan di atas, ternyata ada hal yang cukup menarik jika memandang dari sudut pandang mikro,yakni dari sudut pandang pelaku atau tentara. Seperti yang dikutip oleh peoplesdaily.com, 18 Desember 2008. Liu Zhihe, 53 tahun, salah seorang tentara di Komando Area Militer Wenshan, sebelah barat daya provinsi Yunnan.
Dia mengatakan bahwa perubahan dirasakan pada pengurangan anggota TPR pada tahun 1985, 1997, dan 2003. Total pengurangan pasukan berjumlah sampai 1.7 juta tentara. Kemudian perubahan pada fasilitas-fasilitas, seragam yang terbuat dari bahan semacam wol, barak-barak yang seperti vila-vila, disediakannya transportasi berupa SUV untuk bepergian, dan makanan yang lebih bernutrisi. Tidak ketinggalan pemberian gaji yang cukup tinggi, pada zaman dahulu gaji tentara sebesar 12 Yuan atau AS$ 1.8 per bulan. Sedangkan pada masa sekarang gaji tentara sebesar 18 Yuan per hari.
Pada tingkat konseptual juga terdapat perubahan, konsep yang sekarang dipakai adalah lebih kepada konsep pengamanan. Bila pada zaman ”Perang Dingin”, semua pasukan disiagakan untuk berperang, sebaliknya pada masa kini, para tentara dituntut untuk menjaga keamanan masyarakat. Fakta menarik lainnya adalah terjadi demokrasi di tingkat tentara. Pada asrama-asrama atau barak-barak terdapat ”kotak demokrasi” yang digunakan untuk menampung aspirasi, kritik, saran kepada pejabat tentara yang lebih tinggi tingkatannya. Terdapat pilihan lain bila tidak ingin menggunakan ”kotak demokrasi”, para tentara bisa menyampaikan langsung melalui email yang bisa diakses di lingkungan tersebut.
Bila melihat perubahan yang dilakukan Cina terhadap militernya, mungkin sudah selayaknyalah Indonesia juga mulai sekarang memulai reformasi di tingkat pertahanan nasional. Mengingat wilayah Indonesia yang luas dengan rakyat yang banyak, pengamanan ekstra mutlak dibutuhkan. Mungkin Indonesia dapat belajar dari Cina.

Sabtu, 21 Februari 2009

Cina dan Olimpiade

Pada bulan 8 Agustus 2008 lalu, Cina telah menyelenggarakan pesta olahraga tertua dan terbesar di dunia, yaitu Olimpiade. Mata setiap orang tertuju ke Beijing, ibukota negara dengan populasi penduduk terbanyak di dunia. Cina berhasil membuat seluruh dunia terpukau, mulai dari pembukaan hingga penutupan. Perhelatan akbar ini disambut dengan suka cita oleh rakyat Cina. Mereka dengan sangat bangga dapat menyelenggarakan pesta olahraga sebesar itu.
Pemerintah Cina mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk membangun semua infrastruktur dan fasilitas untuk olimpiade tersebut. Tidak tanggung-tanggung sebuah stadion megah dibangun khusus untuk olimpiade, yakni Stadion Sarang Burung (Bird’s Nest Stadium) dan National Aquatics Center (water cube). Rakyat Cina juga tidak berdiam diri, mereka menjadi sukarelawan. Hampir seluruh rakyat Cina belajar bahasa Inggris untuk menyukseskan olimpiade tersebut. Pada akhirnya Cina sukses menjadi tuan rumah dan juara olimpiade. Tetapi dalam perjalanan menuju olimpiade 2008 lalu, Cina menempuh jalan yang sulit. Pada bulan Mei Provinsi Sichuan dihantam gempa, masalah susu yang tercemar melamin, gerakan separatis di Xinjiang, kemudian masalah Tibet.
Pada tahun 2009 ini, Cina juga mengawali tahun kerbau ini dengan cukup berat yakni krisis finansial global. Tetapi hal ini tidak menyurutkan Cina untuk menyelenggarakan pesta olahraga di awal tahun ini, yaitu 24th Winter Universiade (WU) . Universiade adalah pesta olahraga dunia untuk tingkat universitas. Universiade ini dibagi menjadi dua yaitu, Musim Panas dan Musim dingin. WU ke-24 diadakan di “kota es”, yaitu Harbin. Kota ini merupakan ibukota provinsi Heilongjiang yang berada di Timur Laut Cina. WU ke-24 diadakan mulai tanggal 18-28 Februari 2009.

Soft Power
Menurut Joseph S. Nye Jr, profesor dari Harvard, mengatakan bahwa ada 2 jenis kekuatan, pertama hard power atau memerintahkan negara lain untuk melakukan sesuatu dengan cara kekerasan. Kedua, soft power atau ketika suatu negara mendapatkan sesuatu yang diinginkan melalui negara lain tanpa kekerasan. Contoh kekuatan Soft power ini adalah kekuatan yang mampu mempengaruhi negara lain seperti budaya, ideologi, dan institusi.
Lain halnya dengan Joshua Kurlantzick, penulis buku Charm Offensive, kekuatan lunak tidak terbatas, tetapi lebih luas. Tidak hanya pada tingkat keamanan saja, melainkan semua elemen, termasuk investasi dan bantuan.
Dengan suksesnya Olimpiade 2008 sudah membuktikan Cina memiliki kekuatan lunak yang kuat. Disusul dengan prestasi para atletnya yang tidak kalah bersinar, dengan merebut juara umum olimpiade. Penyelenggaraan WU ini dirasa cukup berat dengan mengawali tahun 2009 dengan krisis finansial global yang melanda seluruh dunia. Akan tetapi hal itu tidak membuat semangat Cina menjadi surut.
Pada WU ke-24 ini, Cina mengeluarkan dana sebesar 2.6 miliyar Yuan (US$ 370 juta) untuk merenovasi fasilitas olahraga. Lebih dari 3000 sukarelawan berpartisipasi dalam WU ini dan 100 di antaranya merupakan sukarelawan dari olimpiade 2008 lalu. Selain memperbaiki fasilitas, Cina juga sudah mempersiapkan acara pembukaan yang meriah. Kemudian satuan keamanan anti-terorisme sudah siap mengamankan kelangsungan acara ini. 82 cabang olahraga yang akan diperlombakan, hal ini membuat WU terbesar dalam sejarah.
Bila WU kali ini berjalan dengan lancar, hal ini akan mendongkrak Cina untuk pertama kalinya menyelenggarakan Olimpiade Musim Dingin. Tanggapan positif sudah diutarakan oleh George Killian, Presiden FISU (International University Sports Federation), mengatakan bahwa Cina sangat berpotensi menyelenggarakan Olimpiade Musim Dingin tahun 2018. Di samping itu, hal ini juga membuktikan Cina akan mampu menyelenggarakan Asian Games 2010 di Guangzhou dan Summer Universiade 2011 di Shenzhen.

Hard Power
Seiring dengan soft power yang semakin solid, Cina juga mengembangkan hard power-nya. Kekuatan militer Cina terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan SMF (Special Missile Force). Angkatan darat Cina merupakan terbesar di dunia. Seiring dengan berkembangnya perekonomian Cina dalam 3 dekade terakhir ini, anggaran untuk militer juga semakin besar.
Cina memang membutuhkan anggaran yang tidak kecil untuk memodernisasikan Tentara Pembebasan Rakyat (TPR). Mengingat bahwa instrumen-instrumen militer yang dimiliki Cina dapat dikatakan kuno dibandingkan dengan AS dan Rusia. Di samping itu Cina juga harus siap untuk mengamankan wilayah yang luas dan rakyat yang banyak.
Cina mau tidak mau mempersiapkan diri untuk menghadapi ancaman dari dalam seperti gerakan separatis Xinjiang dan masalah Tibet. Dan juga menghadapi ancaman dari luar seperti Taiwan, Nuklir Korea Utara, ditambah dengan perompak di Selat Malaka dan Somalia.
Menurut You Ji, Professor dari University of New South Wales, anggaran militer Cina pada tahun 2008 sebesar US$ 60 Miliar, dan akan menjadi meningkat dua kali lipat setiap enam sampai tujuh tahun. Dapat diprediksikan bahwa pada tahun 2015, Cina akan memiliki anggaran militer sebesar US$ 120 Miliar. Meskipun anggaran ini masih lebih rendah dibandingkan dengan AS.
Ia juga mengatakan bahwa kunci dari tranformasi militer Cina adalah memodernisasi bidang Teknologi Informasi (IT) untuk mewujudkan kekuatan militer berteknologi tinggi. Kemudian perubahan misi dari setiap angkatan juga menjadi tujuan tranformasi militer Cina. Angkatan Udara mengubah misinya dari tactical force menjadi strategic force. Angkatan Laut senada dengan Angkatan Udara, dari coastal defense menjadi blue water defense, yang menekankan pada kekuatan serangan. Kemudian SMF juga menjalankan misi penyerangan dengan ditambahnya peluru kendali, baik nuklir maupun yang konvensional.

Minggu, 25 Januari 2009

KELAHIRAN TERENCANA

Setelah membaca rubrik Kilasan Kawat Sedunia (Kompas, 16 Januari 2009) yakni pada bagian Beijing. Dalam rubrik tersebut diceritakan tentang jaringan penculikan anak balita yang akhirnya tertangkap oleh kepolisian China. Kemudian pada (Kompas, 19 Januari 2009) para ibu rumah tangga di Beijing menginginkan dua anak, karena bila satu anak saja, anak tersebut akan merasa kesepian. Dua kejadian di atas hanya salah dua contoh dari akibat penetapan kebijakan satu anak.

Kebijakan satu anak ini ditetapkan pada tahun 1979. Kebijakan ini bertujuan mengerem laju pertumbuhan penduduk. Laju pertumbuhan penduduk ini semakin meningkat ketika terjadi kelahiran besar-besaran (Baby Boomers) pada tahun 1960an. Hal lain yang menyebabkan ditetapkannya kebijakan ini adalah sulitnya penyediaan makanan, pakaian, tempat tinggal, transportasi, pendidikan, layanan kesehatan dan lapangan pekerjaan bila penduduk selalu bertambah setiap tahunnya. Kebijakan ini juga untuk mendukung reformasi ekonomi China.

Dalam bahasa Mandarin, kebijakan satu anak (Jihua Shengyu) yang artinya kelahiran terencana. Pemerintah China sangat tegas dalam pelaksanaan kebijakan satu anak ini. Hal ini terlihat dari jumlah pekerja tetap yang menangani kontrol kelahiran mencapai 60.000 ribu orang pada tahun 1980. Kemudian pada tahun 1995, meningkat menjadi lebih dari 400.000 orang.

Bila zaman dahulu banyak terlihat pemandangan sebuah keluarga tinggal dalam satu rumah yang terdiri dari tiga sampai empat generasi. Setidak-tidaknya seperti yang digambarkan oleh Pearl S. Buck dalam novelnya yang berjudul Bumi yang Subur dan Madame Wu : Pavillion of Women. Pemandangan tersebut sudah tidak ada lagi pada China pada zaman sekarang. Perkataan (duozi duofu) banyak anak banyak rezeki juga sudah tidak berlaku lagi.

Hal yang berlaku sekarang adalah satu anak cukup dan tidak boleh lebih. Tetapi ada penyesuaian yang dilakukan oleh pemerintah Cina dalam mengontrol populasinya. Semua warga negara Cina atau semua pasangan di Cina harus mematuhi kebijakan satu anak ini, kecuali suku minoritas dan pasangan yang tinggal di pedalaman atau di pegunungan.
Bagaimana bila anak pertamanya perempuan? Pasangan tersebut diperbolehkan untuk mempunyai anak lagi. Hal ini berkaitan dengan budaya Cina tradisional, merupakan suatu kebaikan bila memiliki anak laki-laki. Menurut Zhenchao Qian, Professor Sosiologi dari Univesitas Ohio, Interval kelahiran dari anak pertama dan anak kedua minimal empat tahun dan sang ibu harus mencapai umur 28 tahun. Bila melanggar peraturan ini akan didenda 2.5 kali lipat dari pendapatan desa per kepala pada tahun sebelumnya.

Seiring dengan berjalannya waktu, jenis kelamin anak tidak lagi dipermasalahkan oleh kedua orang tua. Hal ini disebabkan oleh reformasi ekonomi yang dilakukan pemerintah Cina. Reformasi ini justru membuka peluang untuk para perempuan bekerja dan menghasilkan uang untuk kedua orang tuanya. Berbeda pada zaman Cina tradisional, yang mengharuskan anak laki-lakinya bekerja di sawah sedangkan anak perempuan tinggal di rumah, membantu ibunya mengurus rumah tangga. Sisi positif lainnya yang mendukung kebijakan satu anak ini adalah mahalnya biaya membesarkan anak. Hal ini juga menjadi pertimbangan orang tua yang ingin memiliki anak kedua.
Permasalahan yang lebih berat yang akan dialami Cina adalah penurunan tingkat kelahiran yang akan mengakibatkan perubahan struktur populasi. Kebijakan satu anak ini menyebabkan orang tua hanya melahirkan sedikit anak, maka tingkat kelahiran akan menurun. Tingkat kelahiran di Cina semakin menurun sampai 1.8 per pasangan, sedangkan tingkat kelahiran terburuk dipegang oleh Italia dan Jepang yakni di bawah 1.0 per pasangan.

Akibatnya adalah perubahan struktur populasi yaitu usia muda akan menjadi lebih sedikit dibandingkan usia tua/pensiun. Maka para bayi ini harus menanggung para kakek-nenek yang sudah pensiun dan sudah tidak dapat bekerja lagi. Menurut Wang Feng, Profesor dari Universitas California, Pada tahun 2015, demografi di Cina akan sedikit mengalami perubahan, populasi akan semakin menua dan persediaan buruh akan menurun dengan sangat tajam. Untuk mencegah terjadinya hal tersebut maka pemerintah Cina mulai sekarang harus melakukan perubahan dalam jangka waktu 10 tahun ke depan.
Pada tahun 2033, Cina akan memiliki populasi sebesar 1.5 miliar, jumlah yang tidak sedikit mengingat Cina sekarang juga sudah memiliki seperdelapan populasi dunia dengan ekonomi termaju di dunia. Maka Cina mau tidak mau memikirkan cara untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh kebijakan satu anak tersebut.

Minggu, 04 Januari 2009

REFORMASI CINA & PENGUSAHA SWASTA

Sejak Sidang Pleno Ketiga dari Kongres ke-11 Komite Pusat PKC, Cina melakukan terobosan besar dalam mereformasi ekonominya. Cina memulai kebijakannya yang dikenal dengan Reformasi dan Keterbukaan (Gaige Kaifang). Perubahan yang mendasar terdapat pada sistem ekonominya, dari sistem ekonomi terencana menjadi sistem ekonomi pasar. Banyak akibat yang ditimbulkan dari penetapan kebijakan ini, seperti Cina membuka dirinya untuk menerima penanaman modal asing, kemudian dibangun Zona Ekonomi Khusus, privatisasi Perusahaan Milik Negara.
Ada satu elemen yang juga terkena efek langsung dari reformasi dan keterbukaan tersebut, yaitu para pengusaha swasta. Elemen masyarakat yang dulu telah ”hilang” pada masa kepemimpinan Mao Zedong, kini muncul kembali.
Kemunculan kembali pengusaha swasta ini untuk ”mengisi kesenjangan” yang ditinggalkan oleh sektor milik negara dalam hal produksi dan sirkulasi dari barang-barang dan jasa konsumen. Tujuan lainnya adalah untuk menstimulasi aktivitas dan kompetisi pasar, dan juga menyediakan lapangan kerja. Akan tetapi mendorong pengusaha swasta untuk tumbuh akan menyebabkan eksploitasi dan kemunculan kembali kapitalisme. Dalam mengatasi ketakutan tersebut, maka para pengusaha swasta ini akan didominasi dan dikontrol oleh pemerintah melalui sistem ekonomi sosialis. Oleh karena itu, mereka tidak bisa berkembang lebih dari skala yang yang ditetapkan oleh pemerintah Cina. (Susan Young,1991)
Perkembangan pengusaha swasta ini pada awalnya dibatasi hanya pada industri individu atau industri rumah tangga (getihu). Pengusaha swasta dalam sektor ini hanya diperbolehkan mempekerjakan maksimal tujuh orang, dan 5 di antaranya merupakan orang-orang yang sedang magang.
Meskipun pengusaha swasta mendapatkan tekanan pada tahun 1983 untuk membersihkan ”Spiritual Pollution”, para pemerintah daerah memanfaatkan kesempatan untuk menuduh pengusaha swasta bahwa mereka memperjualbelikan pornografi dan melakukan penyelundupan lainnya. Namun kampanye ini berakhir pada tahun 1984. Kemudian, Rapat Pleno Ketiga dari Kongres ke-12 Komite Pusat PKC pada bulan Oktober 1984, menyatakan bahwa pemerintah Cina akan meningkatkan reformasi ke tahap yang baru. Ketetapan komite atas ”Keputusan Reformasi dari Struktur Ekonomi” menyatakan bahwa pemerintah Cina akan memperdalam reformasi dan memberikan dukungan untuk perkembangan ekonomi individu. Hal ini bertujuan untuk mendorong orang untuk membuka usahanya, menenangkan ketakutan pengusaha swasta akan kemungkinan terjadinya pemutarbalikkan kebijakan dan memberi dukungan sosial bagi perluasan sektor swasta. (Lora Sabin,1994)
Pengusaha individu atau getihu ini terdiri dari penjual makanan keliling, pedagang yang berpindah-pindah, dan pemilik usaha eceran yang pada periode pra reformasi telah termarjinalisasi dan tidak mendapatkan keuntungan dari Perusahaan Milik Negara. Pada kenyataannya, kebanyakan dari pengusaha individu ini berasal dari para petani yang tidak lagi bekerja secara kolektif.
Ternyata perkembangan dari getihu ini memaksa pemerintah Cina pada tahun 1988, untuk melegalisasi perusahaan swasta (siying qiye), yang diperbolehkan untuk memiliki pegawai yang terdiri dari delapan orang atau lebih.
Setelah Kampanye ”Spiritual Pollution”, pada tahun 1989, terjadi demonstrasi besar-besaran oleh para mahasiswa di Lapangan Tian’anmen tanggal 3-4 Juni 1989, yang dikenal dengan ”Peristiwa Tian’anmen”. Peristiwa ini sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Cina. Seluruh bagian dari ekonomi Cina terkena imbasnya, sehingga pada sekitar tahun 1989, pertumbuhan ekonomi Cina menurun. Tidak terlepas pengusaha swasta, yang juga secara tidak langsung terkena imbas dari peristiwa ini.
Ternyata akibat yang ditimbulkan oleh ”Peristiwa Tian’anmen” ini begitu besar, sehingga sampai tahun 1992 pertumbuhan ekonomi Cina tidak kunjung membaik. Maka Deng Xiaoping bersama beberapa pejabat pemerintah Cina lainnya melakukan ”perjalanan ke selatan”. Dalam perjalanan ini, Deng mengunjungi kota-kota besar di daerah selatan Cina dan mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Cina tidak boleh dilakukan setengah-setengah. Setelah melakukan perjalanan ini, perlahan-lahan pertumbuhan ekonomi Cina membaik dan terus meningkat sampai sekarang.
Contoh komoditi yang dihasilkan industri perusahaan swasta seperti baju, sepatu, kaos kaki, tekstil yang sangat berkembang di Cina, lalu ubin atau keramik, alumunium untuk jendela rumah, dan lain-lain. Sedangkan restoran, salon kecantikan, transportasi, dan lain-lain merupakan bentuk-bentuk usaha swasta di bidang jasa. Di bidang industri ringan, industri-industri swasta ini bergerak di bidang produksi baju, kawat nyamuk, pembersih kaset. Sedangkan di bidang makanan mencakup perusahaan roti dan kue, es balok, bibit-bibit melon. Menurut statistik Biro Industri dan Perdagangan Cina, lebih dari 70 persen perusahaan swasta yang terletak di wilayah pedesaan, sebagian besar bergerak di bidang industri, pertambangan, transportasi, dan konstruksi, dan sedikit dalam bidang perdagangan.
Tetapi para pengusaha swasta hanya bisa berproduksi di bidang-bidang yang telah disebutkan di atas. Karena pemerintah Cina tidak mengijinkan pengusaha swasta bergerak di segala bidang. Di mata pemerintah Cina, ada beberapa bidang kehidupan yang hanya bisa dikelola oleh Perusahaan Milik Negara. Jika dilihat dari hasil presentase di atas pengusaha swasta kebanyakan bergerak di bidang sekunder dan tersier, sedangkan hanya sedikit sekali primer, bahkan dapat dikatakan hampir tidak ada yang bergerak di bidang primer. Dengan demikian, bidang kehidupan primer masih dipegang oleh pemerintah Cina. Mereka tidak ingin bidang kehidupan yang paling penting itu dikuasai oleh para pengusaha swasta. Sebagian besar komoditi industri di Cina masih dimonopoli oleh pemerintah Cina.
Berdasarkan Sensus Ekonomi Nasional tahun 2005, sampai pada tahun 2001 perusahaan swasta di Cina mencapai 1.98 juta. Total ekspor dari perusahaan swasta ini meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan statistik menurut Departemen Perdagangan Cina, pada tahun 2002 jumlah ekspor mencapai US$ 32.77 juta, kemudian pada tahun 2003 mencapai US$ 60 juta, dan pada tahun 2004 menembus angka US$ 0.1 miliar.
Dari sini terlihat bahwa ”kemunculan” kembali kelas pengusaha swasta di Cina disebabkan oleh keadaan perekonomian Cina yang sangat terpuruk setelah Revolusi Kebudayaan. Situasi ini telah memaksa pemerintah Cina untuk menetapkan kebijakan yang dapat menumbuhkan kembali perekonomian Cina. Hal ini hanya dapat terwujud jika pemerintah Cina dibantu oleh elemen masyarakat yang memiliki potensi untuk mewujudkan kebijakan tersebut. Kelas pengusaha swasta merupakan salah satu bagian dari elemen-elemen ini, sehingga kemunculannya merupakan suatu keadaan yang tidak terhindarkan. Bahkan sampai tahun 2008 ini, pengusaha swasta menjadi salah satu ujung tombak kemujuan ekonomi Cina.