Senin, 07 Februari 2011

Pengangguran Urban di Cina

Pada 3 Februari merupakan tahun baru Cina atau kita mengenalnya dengan Imlek. Para buruh migran di kota-kota besar di Cina kembali kampung halamannya masing-masing. Mereka mudik untuk merayakan bersama-sama keluarga tercinta. Untuk sementara waktu mesin-mesin pabrik beristirahat sejenak selama liburan tahun baru.
Sementara itu, pemerintah Cina terus memutar otak untuk terus menyediakan lapangan pekerjaan baru bagi penduduk kota, baik itu di sektor formal maupun informal. Meskipun pada akhir tahun 2010 pengangguran urban sebesar 4,1 persen, Cina tidak dapat bersenang hati dulu karena seiring pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi permintaan akan lapangan pekerjaan juga semakin tinggi.

Sektor Formal
Merupakan hal yang sangat baik bila memiliki seorang putra pertama dan memiliki pendidikan yang tinggi. Hingga saat ini, para keluarga di Cina masih memegang teguh hal tersebut. Sedapat mungkin anak-anak mereka dapat bersekolah setinggi-tingginya dan diikuti dengan mendapatkan pekerjaan yang baik.
Akan tetapi pada kenyataannya, lulusan universitas di Cina juga mengalami kendala sulit mendapatkan pekerjaan. Saat ini, sebanyak 6,3 juta lulusan universitas di Cina tidak memiliki pekerjaan. Sedangkan pekerjaan untuk mereka terbatas yang menyebabkan mengalami penumpukan pengangguran terdidik di Cina semakin lama semakin meningkat.
Menurut Cindy Fan, Professor Geografi UCLA, menyatakan ada tiga alasan pengangguran terdidik di Cina cukup tinggi. Pertama, para lulusan perguruan tinggi yang berasal dari desa cenderung menetap dan bekerja di kota-kota besar seperti Beijing dan Shanghai, bukan kembali membangun daerah yang mereka tinggalkan dulu.
Kedua, para lulusan perguruan tinggi domestik mendapat saingan baru dari lulusan yang mendapat gelar pendidikan dari luar negeri, yang disebut dengan haigui (Kura-kura Laut). Ketiga, kurangnya lapangan pekerjaan yang bergerak di bidang jasa, professional dan membutuhkan keterampilan tinggi.
Sedangkan Yasheng Huang, Professor Ekonomi Politik M.I.T, mengatakan bahwa Cina tidak memiliki tenaga kerja yang cocok dengan kebutuhan para perusahaan. Sementara itu, sistem pendidikan di Cina juga menyebabkan insan-insan pekerja tidak memiliki kemampuan inovatif.
Lain halnya dengan Jepang yang memiliki lulusan perguruan tinggi yang baik, namun tidak dihargai oleh golongan tua. Perusahaan-perusahaan lebih melindungi golongan tua yang sudah bekerja lebih dulu. Pemuda-pemuda Jepang menghadapi hambatan generasi (New York Times, 28/01/11).

Sektor Informal
Zhou Tianyong, Professor Sekolah Partai Pusat pada Komite Pusat PKC, berpendapat bahwa pengangguran merupakan masalah sosial ekonomi yang bersifat jangka panjang bagi Cina. Tercatat pada tahun 2009, sekitar 30 juta buruh migran dan lebih dari 9 juta lulusan perguruan tinggi tidak memiliki pekerjaan.
Hal ini merupakan tantangan yang akan dihadapi Cina di masa depan, yakni buruh migran generasi kedua. Buruh migran generasi kedua ini sebagian besar telah mengecap pendidikan di bangku sekolah yang kemudian bekerja di kota. Mereka memiliki pengetahuan yang lebih baik daripada buruh migran generasi pertama yang sebagian besar adalah petani. Mereka menuntut hak dan tidak menerima diperlakukan secara tidak adil seperti layaknya orang tua mereka.
Menurut Menteri Pertanian Cina, Han Changfu, mereka menginginkan diperlakukan sama dengan orang-orang kota pada umumnya. Tidak hanya itu saja, mereka juga menuntut hak-hak mereka untuk dipenuhi. Kemudian sekitar 70 persen dari buruh migran generasi kedua memiliki telepon genggam, bahkan rata-rata dengan teknologi terbaru dan model yang anyar. Mereka berpakaian layaknya warga kota dan tidak terlihat seperti seorang buruh.
Permasalahan lainnya yang timbul adalah para buruh migran generasi kedua ini sudah terbiasa hidup di kota dan tidak memiliki keinginan untuk kembali ke desa. Meskipun kembali ke desa, mereka tidak memiliki tanah untuk digarap. Sedangkan bila meneruskan hidup di kota, mendapatkan pekerjaan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.

Langkah Pemerintah
Dampak dari masalah pengangguran di kota-kota di Cina adalah mendesaknya reformasi Hukou (semacam KTP). Hukou ini terbagi menjadi dua, yakni desa dan kota, ini salah satu cara dari pemerintah Cina untuk mengontrol pergerakan penduduk dari desa ke kota atau sebaliknya. Dengan begitu banyaknya pencari kerja yang mencari peruntungan di kota, pemerintah Cina tidak bisa tidak harus mengubah aturan mengenai hukou ini.
Kam Wing Chan, Professor Geografi Universitas Washington, menyarankan bahwa pemerintah Cina dapat memperpanjang hukou kota bagi pekerja yang berasal dari lulusan perguruan tinggi dan buruh migran.
Oleh karena itu, pemerintah Cina berdasarkan Dokumen No. 1 yang dikeluarkan Partai Komunis Cina pada akhir Januari 2010 lalu, yang menyebutkan bahwa buruh migran diizinkan untuk menetap permanen di kota-kota sedang dan besar. Kemudian berhak atas pelayanan publik dan fasilitas yang diterima oleh para penduduk kota.
Selain itu, dalam White Paper on China Human Resources 2010, tujuan utama dari pemerintah Cina adalah mengembangkan tenaga kerja di Cina dan memanfaatkan secara menyeluruh kemampuan masing-masing tenaga kerja dari 1,3 triliun penduduk Cina. Hal ini merupakan tantangan bagi Cina yang menyandang predikat sebagai negara yang memiliki pertumbuhan tertinggi di dunia.