Sabtu, 25 Juni 2011

Perlindungan Terhadap Konsumen

Apa yang terjadi bila makanan yang kita makan selama ini beracun dan berbahaya bagi tubuh kita? Pastinya kita akan menghindari makanan yang mengandung racun seperti itu. Hal ini lah yang terjadi di Cina sekarang ini, makanan yang dikonsumsi sebagian mengandung racun yang berbahaya bagi tubuh.

Kasus terkini yang timbul masalah makanan di Cina ialah Bakpao atau roti-roti isi yang dijual dipinggir jalan tersebut basi atau dibuat seolah-olah makanan tersebut baru dibuat. Padahal makanan tersebut sudah dibuat dari sejak lama atau dengan kata lain didaur ulang.

Terkait masalah keamanan pangan, Cina sudah terkena masalah ini sejak 3 tahun lalu, ketika permasalahan susu yang tercemar melamin. Perusahaan Sanlu yang memproduksi susu tersebut, langsung bangkrut ketika masyarakat Cina menuntut ditutupnya perusahaan itu. Insiden itu menyebabkan banyak anak balita yang terkena gagal ginjal bahkan ada yang sampai kehilangan nyawa.

Hal ini pula yang menyebabkan 70 persen dari penduduk Cina kehilangan kepercayaan terhadap keamanan pangan. Survei yang dilakukan oleh Majalah Insight China dan Laboratorium Survei Media Tsinghua baru-baru ini.

Penyebab Insiden
Insiden yang telah terjadi ini bukannya tanpa alasan, karena setiap kejadian ada penyebab dan akibat yang ditimbulkan. Cina memiliki pasar yang besar, apalagi dengan penduduk sebanyak 1,3 miliar manusia hidup di negara tersebut. Hal ini menjadi potensi yang besar di bidang ekonomi, terutama di bidang makanan dan minuman.
Atkearney (2007), sebuah konsultan manajemen global, beranggapan bahwa pasar ritel Cina untuk barang-barang yang menjadi konsumsi masyarakat sebesar AS$ 628 juta, meningkat sebesar 9,2 persen selama tujuh tahun terakhir ini.

Kemudian seiring dengan perkembangan ekonomi Cina, maka kelompok menengah di Cina juga ikut meningkat. Dalam 10 tahun dari tahun 2007 hingga 2017, pertumbuhan kelompok menengah di Cina diperkirakan meningkat dari 200 juta jiwa hingga mencapai 518 juta jiwa. Di sisi lain, pengeluaran untuk konsumsi makanan bagi kelompok ini meningkat dari AS$ 770 menuju angka AS$ 1.270. Sedangkan untuk penjualan makanan terhadap kelompok menengah ini meningkat dari AS$ 150 juta hingga mencapai AS$ 650 juta.

Jika melihat angka-angka di atas, godaan untuk membuka usaha di bidang tersebut sungguh besar. Pendapatan yang dihasilkan juga pasti akan untung besar. Sayangnya, hal ini tidak diikuti dengan kontrol kualitas yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di bidang makanan tersebut.

Menurut Qin Zhang, CFA dan Lucy Carmody yang berafiliasi dengan Responsible Research (Juni, 2009), melakukan kajian terhadap keamanan pangan di Cina. Mereka mengungkapkan kunci penyebab insiden-insiden tersebut terjadi. Pertama, Mental dari para pengusaha untuk menjadi kaya secepat-cepatnya. Oleh karena itu, beberapa petani, pengusaha makanan dan pemerintah tidak memprioritaskan etika professional dan kurangnya tanggung jawab sosial kepada masyarakat. Mereka hanya memikirkan keuntungan semata, bahkan hukuman mati pun bukanlah penangkal yang ampuh bagi mereka untuk memproduksi makanan sesuai prosedur.

Kedua, lemahnya koordinasi antar instansi-instansi pemerintah. Dalam masalah ini banyak instansi yang terlibat, seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan, Badan Administrasi Umum untuk Supervisi Kualitas, Inspeksi dan Karantina (AQSIQ), Badan Administrasi Negara untuk Industri dan Perdagangan (SAIC), Badan Administrasi Makanan dan Obat Negara (SFDA). Masing-masing badan ini memiliki tugas pokok masing-masing yang tidak tumpang tindih akan tetapi lemah dalam berkoordinasi.

Ketiga, kurangnya standar dan sertifikat untuk makanan yang dikonsumsi oleh warga negara Cina. Keempat, kurangnya sistem inspeksi terhadap makanan yang beredar di Cina. Kelima, belum menerapkan sistem hukum yang berlaku. Keenam, konsentrasi industri makanan berada di tingkat kecil, yang mempekerjakan kurang dari 10 orang. Ketujuh, tercemarnya tanah dan air yang disebabkan oleh polusi di Cina.

Langkah Pemerintah
Pemerintah Cina tidak henti-hentinya untuk mengembalikan kepercayaan rakyat Cina untuk memberikan perlindungan terhadap makanan yang akan mereka konsumsi. Seperti yang diungkapkan Wu Jinsheng, Direktur Teknologi AQSIQ, kepada China Daily bahwa dengan meningkatnya pemasukan pada Rencana Lima Tahun ke-12. Maka kota-kota di Cina yang akan menyelenggarakan tes terhadap makanan akan meningkat berlipat ganda.
AQSIQ berniat untuk menambah personilnya dari 93.000 orang menjadi lebih dari 100.000 orang pada tahun 2015. Pada akhir tahun 2010 lalu, AQSIQ telah mendirikan 180 bauh pusat inspeksi di seluruh wilayah Cina dan 148 buah yang masih dalam tahap pembangunan. Kemudian 209 Laboratorium inspeksi yang berskala nasional, dengan peralatan senilai 14 triliun Yuan dan 100 buah yang masih dalam proses pendirian.
Pemerintah Cina juga akan menyelenggarakan Konferensi Keamanan dan Kualitas Pangan Internasional pada 2-3 November 2011 nanti di Beijing.

Sikap Indonesia
Dalam hal ini sikap Indonesia tidak boleh lengah, mengingat China-ASEAN Free Trade Area yang sudah dicanangkan sejak tahun 2010 lalu. Dengan demikian, komoditas ekspor dari Cina juga akan bebas masuk ke negara ASEAN termasuk makanan.
Komoditas makanan yang paling mudah masuk dari Cina adalah buah-buahan. Karena terkenal murah dan memiliki tampilan yang menarik dibandingkan buah lokal milik Indonesia sendiri.

Oleh karena itu, sikap waspada sepantasnya ditingkatkan untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Pemerintah Indonesia melalui BPOM juga harus giat dalam memeriksa makanan-makanan yang datang dari Cina. Hal ini bukan bertujuan untuk menolak segala barang dari Cina, melainkan untuk mencegah dampak buruk yang mungkin akan ditimbulkan oleh makanan tersebut. Seperti kata pepatah, “Mencegah lebih baik daripada mengobati”.