Selasa, 28 Juli 2009

Kerusuhan Xinjiang

Xinjiang kembali memanas, dilaporkan 184 korban meninggal dan lebih dari 1000 orang luka-luka. Tetapi kerusuhan ini bukan berasal dari gerakan separatis melainkan perselisihan antara suku Uighur, salah satu suku minoritas di Cina dengan suku Han, yang merupakan suku mayoritas di Cina.
Karena kerusuhan ini, Hu Jintao mempersingkat pertemuan G-8 yang berlangsung di Italia. Pemerintah Cina langsung mengerahkan pasukan militernya untuk meredam dan kembali menstabilkan situasi di Urumqi. Kemudian pemerintah juga akan menghukum oknum-oknum yang terbukti menyebabkan kerusuhan terjadi dan menyebabkan kerugian bagi ratusan bahkan ribuan orang Xinjiang.
Tidak lama setelah kerusuhan terjadi, aksi protes juga datang dari negara-negara Islam. Hal ini disebabkan oleh suku Uighur merupakan pemeluk agama Islam dan jumlah nya mencapai 20 juta orang. OKI juga turut prihatin mengenai apa yang telah terjadi di Urumqi.

Akar Permasalahan
Kerusuhan ini disebabkan justru bukan dari Xinjiang, melainkan berasal dari sebuah pabrik di Guangdong. Tetapi yang membingungkan adalah mengapa kerusuhan terjadi di Urumqi bukan di pabrik di Guangdong tersebut. Ternyata ada masalah yang sebenarnya lebih besar dari isu miring tersebut.
Sejak diberlakukannya kebijakan Reformasi dan Keterbukaan oleh Deng Xiaoping menyebabkan ekonomi Cina tumbuh dengan pesat. Daerah pesisir Cina mengalami pertumbuhan yang begitu cepat. Hal ini menimbulkan perkembangan di daerah pedalaman tertinggal dari daerah pesisir. Oleh karena itu, pembangunan ditekankan ke daerah barat, yakni Xinjiang yang terletak jauh di sebelah Barat Cina dan berbatasan dengan lima negara. Wilayah ini juga memiliki sumber minyak dan gas alam. Menurut Dwijaya Kusuma adalah cadangan minyak di Tarim Basin secara keseluruhan kurang lebih sebesar wilayah Texas di Amerika Serikat. (Cina Mencari Minyak, 2008)
Dengan demikian, semakin banyak penduduk dari suku Han bermigrasi ke Xinjiang dengan tujuan memacu pertumbuhan ekonomi di Xinjiang. Sejak 60 tahun yang lalu, penduduk yang berasal dari suku Han meningkat dari awalnya hanya 6% dari penduduk Xinjiang pada tahun 1949. Meningkat menjadi 40% dari penduduk Xinjiang. Sedangkan suku Uighur mengalami penurunan selama 60 tahun ini, yang awalnya 75% menjadi 45%.
Menurut The Economist, penyebab lainnya penduduk dari suku Han dapat berbisnis lebih baik daripada penduduk dari suku Uighur. Kemudian suku Uighur merasa seperti menjadi warga kelas dua setelah suku Han. Suku Uighur juga merasa seperti dikolonisasi oleh pemerintah Cina, mengingat daerah Xinjiang kaya dengan sumber daya alam terutama minyak dan gas alam. Sedangkan suku Han berpikir suku Uighur merupakan suku yang terbelakang dan dimanjakan oleh negara dengan tidak diberlakukannya kebijakan satu anak kepada mereka.
Dengan begitu suku Uighur merasa asing di tanah mereka sendiri atau lebih tepatnya merasa seperti menjadi “tamu di rumah sendiri”. Kemudian dengan semakin banyaknya suku Han di Xinjiang, suku Uighur semakin sulit mendapatkan pekerjaan. Karena hampir seluruh pekerjaan telah dikuasai oleh penduduk dari suku Han.
Bahkan menurut tulisan Barbara Demick dan David Pierson pada L.A Times, penduduk dari suku Han mendapatkan transportasi, asuransi, rumah secara gratis. Mereka juga mendapatkan bantuan untuk mencari pekerjaan atau memulai bisnis mereka. Partai Komunis Cina juga melakukan larangan bagi pegawai pemerintah yang melaksanakan ajaran agama. Hal ini menyebabkan penduduk dari suku Uighur tidak dapat menjadi pegawai pemerintah. Jika mereka tetap ingin menjadi pegawai pemerintah harus siap menerima konsekuensinya. Konsekuensinya adalah harus bersedia dipecat atau dimutasi bila ketahuan pergi ke masjid atau melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan. Penduduk dari suku Uighur juga mengalami kesulitan jika ingin berkomunikasi dengan penduduk dari suku Han, karena bahasa mereka lebih dekat ke bahasa Turki daripada bahasa mandarin.
Dengan terjadinya kerusuhan ini, maka konsep “Masyarakat Harmonis” (Hexie Shehui) menemui tantangan. Karena ternyata kehidupan masyarakat di Cina tidak harmonis. Kesenjangan yang ada di masyarakat masih sangat lebar, merupakan tugas sebuah negara untuk menyempitkan jarak tersebut. Tidak hanya di Xinjiang saja, tetapi meratakan pendapatan di seluruh pelosok negeri.

Pemecahan masalah
Ketidakadilan yang telah disebutkan sebelumnya merupakan akar permasalahan yang akhirnya memuncak pada tanggal 5 Juli 2009. Oleh karena itu, pemerintah Cina harus menyelesaikan masalah-masalah ini secara seksama tanpa memihak salah satu suku.
Graham E. Fuller dan Frederick Starr menyebutkan beberapa poin yang harus ditempuh oleh pemerintah Cina. Poin-poin tersebut antara lain memperluas otonomi kepada Xinjiang seperti termaktub dalam konstitusi RRC termasuk kebebasan linguistik dan kebudayaan. Kemudian pemerintah harus membatasi migrasi ke Xinjiang. Pemerintah dalam mengembangkan Xinjiang harus memperhatikan karakteristik kebudayaan, demografi, sosial, ekologi, dan hydrologi daerah setempat. (Central Asia-Caucasus Institute, 2003)
Pemerintah Cina juga mau tidak mau harus memecahkan masalah pasca kerusuhan, yakni mengembalikan kehidupan antara suku Uighur dan Han ke tahap normal seperti sebelum kerusuhan terjadi. Sebagai manusia pastinya kita tidak mau terjadi kekerasan baik di Xinjiang maupun di dunia tempat kita hidup. Oleh karena itu, pemerintah Cina diharapkan dapat menyelesaikan masalah kerusuhan ini dengan baik tanpa menggunakan kekerasan melainkan dengan jalan damai.

Jumat, 17 Juli 2009

Satu Cina?

Sudah 60 tahun Cina dan Taiwan berselisih, Cina dengan tegas dan konsisten akan mengembalikan Taiwan ke pangkuan ibu pertiwi, sedangkan Taiwan pada 2 dekade terkahir ini mengiginkan pengakuan dunia internasional sebagai sebuah negara.
Sejak tahun 1949 Partai Nasionalis Cina (Kuomintang) yang dipimpin Chiang Kai Sek kalah dari Partai Komunis Cina (PKC) kemudian bermigrasi ke Pulau Taiwan, pada awalnya ingin merebut kembali Cina dari tangan PKC. Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu, Taiwan menemukan jalannya sendiri. Bahkan dapat dikatakan berdiri di kaki sendiri. Mereka dapat menumbuhkan perekonomian bagi rakyatnya dan mengekspor hasil produksi mereka sendiri. Tetapi semua itu sia-sia jika tidak mendapatkan suatu pengakuan atau identitas yang jelas.
Sejak Partai Progresif Demokratik (PPD) merebut kekuasaan dari tangan Kuomintang, Taiwan dengan gencar melakukan upaya untuk mendapatkan suatu pengakuan dari dunia internasional. Mereka membuat semacam referendum untuk melancarkan jalan untuk Taiwan menjadi sebuah negara. Sikap ini didukung oleh rakyatnya terutama pendukung PPD.
Di seberang Pulau Taiwan, Cina tidak akan tinggal diam membiarkannya begitu saja. Taiwan tidak boleh menjadi sebuah negara, tetapi justru sebaliknya yaitu kembali ke pangkuan Cina. Cina sudah menawarkan berbagai jalan keluar untuk Taiwan kembali. Contoh yang paling jelas adalah kebijakan “satu negara, dua sistem”. Sejak kembalinya Hong Kong pada tahun 1997, kemudian disusul dengan Macau, Cina sudah menerapkan sistem ini dan bertahan hingga sekarang.

20 tahun terakhir
Dalam 20 tahun terakhir ini, langkah-langkah yang diambil Cina sudah cukup baik. Pada tahun 1981, Ye Jianying, Ketua Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional mengeluarkan “Sembilan Prinsip”. Prinsip ini intinya berisi bahwa PKC dan Kuomintang membicarakan masalah hubungan antara Cina dan Taiwan. Hampir dari sembilan prinsip ini sifatnya persuasif mengajak Taiwan bergabung dalam satu negara. Cina banyak memberi janji manis kepada Taiwan. Tetapi Taiwan tidak menanggapi hal ini dengan serius.
Kemudian pada tahun 1992, kedua belah pihak bertemu di Singapura untuk membicarakan masalah hubungan antara keduanya. Hasil dari pembicaraan ini menghasil kan apa yang disebut dengan “Konsensus 1992”, yang intinya adalah mengacu kepada prinsip satu Cina. Pertemuan ini juga disebabkan oleh meningkatnya hubungan ekonomi dan bidang lainnya antara Cina-Taiwan. Taiwan mendirikan SEF (Straits Exchange Foundation) untuk mengurus masalah yang terjadi antara Cina dan Taiwan.
Pada tahun 1995, Presiden Jiang Zemin mengeluarkan “Delapan Poin”. Poin-poin ini hampir sama dengan “Sembilan Prinsip”-nya Ye Jianying, tetapi lebih ditegaskan kembali. Jiang menegaskan tidak akan menggunakan kekerasan dan akan mengedepankan negosiasi damai untuk mencapai reunifikasi. Kekerasan ditujukan kepada Pasukan Asing dan siapapun yang mendukung kemerdekaan Taiwan. Jiang juga mengatakan bahwa sesama orang Cina tidak boleh saling berperang.
Pada masa pemerintahan Hu Jintao mengeluarkan “Empat Poin Haluan”. Pertama, tetap mengacu kepada prinsip satu Cina. Kedua, jangan pernah menyerah untuk reunifikasi secara damai. Ketiga, jangan merubah prinsip memberikan harapan kepada masyarakat Taiwan. Kemudian yang terakhir adalah tidak akan berkompromi terhadap kemerdekaan Taiwan.
Cina secara terus-menerus melakukan usaha untuk mereunifikasi, tetapi tetap dalam koridor jalan damai. Kemudian Cina juga terus melakukan pendekatan dengan cara perdagangan, transportasi dan pos. Melihat perkembangan perekonomian Cina dalam 30 tahun terakhir ini, jalan perdagangan merupakan jalam yang paling ampuh untuk mendekatkan hubungan antar selat. Lalu pada bidang tranportasi, Cina dan Taiwan sudah memberlakukan penerbangan langsung di antara kedua negara. Hal ini melancarkan para masyarakat kedua negara untuk bepergian.
Menurut Xin Qiang, hubungan antar selat ini dalam periode bulan madu. Beijing menginginkan membangun kepercayaan antara kedua pihak, yang merupakan syarat utama untuk memajukan hubungan antara kedua belah pihak. Di satu sisi juga menyingkirkan perbedaan antara kedua pihak. Maka dengan begitu kedua belah pihak dapat menemukan atau menciptakan win-win solution. (China Security,Winter 2009)

Kuomintang
Sejak Kuomintang merebut kekuasaan dari tangan PPD dan menempatkan Ma Ying Jeou sebagai Presiden Taiwan, hubungan antar selat mengalami kemajuan. Meskipun jalan untuk reunifikasi masih dirasa sulit. Hal ini disebabkan oleh kampanye “Tiga Tidak” oleh Ma pada pemilihan presiden lalu, yaitu tidak reunifikasi, tidak merdeka, tidak menggunakan kekerasan.
Setidaknya Beijing dapat bernafas lega dalam masa pemerintahan Ma, Taiwan tidak meneruskan perjuangan untuk merdeka. Tetapi di sisi lain juga tidak ada reunifikasi di antara kedua pihak. Hal ini menandakan bahwa Ma menginginkan mempertahankan status quo yang dimiliki Taiwan sekarang. Oleh karena itu, Cina harus memanfaatkan dengan baik dan memperdalam hubungan dengan Taiwan pada masa pemerintahan Kuomintang ini.
Pada tanggal 12 Juni 2009, Li Hongmei, editor dari Harian Rakyat, mengeluarkan tulisan mengenai Ma Ying Jeou memperkenalkan aksara sederhana kepada masyarakat Taiwan. Li menyebutnya proposal yang bijaksana. Perlu diketahui sebelumnya bahwa Cina memiliki dua tipe aksara, yakni aksara sederhana dan aksara tradisional. Sejak merdeka, Cina menggunakan aksara sederhana meskipun di beberapa daerah di selatan masih banyak menggunakan aksara tradisional. Sedangkan Taiwan terus menggunakan aksara tradisional hingga saat ini.
Dengan memperkenalkan aksara sederhana kepada masyarakat Taiwan, dapat memudahkan komunikasi antara kedua belah pihak. Hal ini juga bisa menandakan bahwa Taiwan mulai menunjukkan indikasi untuk melakukan reunifikasi. Akan tetapi hal tersebut masih belum dapat dibuktikan, karena masyarakat Taiwan belum sepenuhnya yakin untuk melakukan reunifikasi dan masih ada PPD yang berjuang sekuat tenaga untuk meraih kemerdekaan untuk Taiwan. Lalu masih ada Amerika yang masih ikut campur. Kita lihat bagaimana akhir dari hubungan antar selat ini, apakah reunifikasi? Merdeka? Atau tetap pada status quo?

Rabu, 08 Juli 2009

Setelah 20 Tahun

20 tahun telah dilewati oleh Cina setelah terjadi tragedi di lapangan Tiananmen. Apa yang terjadi selama kurun waktu 20 tahun ini di Cina?
Aksi demonstrasi mahasiswa yang diawali oleh peringatan kematian mantan perdana menteri Hu Yaobang. Kemudian menjadi masif dalam peringatan 70 tahun Gerakan 4 Mei 1919, yang menandakan demokrasi dan sains di Cina. Kemudian pada puncaknya tanggal 4 Juni 1989, ribuan orang memadati lapangan Tiananmen menuntut adanya demokrasi, dihapusnya korupsi dan nepotisme dalam birokrasi pemerintahan, dan kebebasan yang lebih kepada rakyat.
Akibat yang ditimbulkan pada bidang ekonomi sungguh besar, pertumbuhan ekonomi menurun secara drastis setelah terjadinya tragedi tersebut. Tetapi hanya tiga tahun berselang, Deng Xiaoping mengambil langkah penting. ”Tur ke selatan” yang terkenal itu membawa Cina kembali ke jalur pertumbuhan. Dengan perlahan tapi pasti ekonomi Cina kembali tumbuh dengan cepat. Deng Xiaoping juga memilih Jiang Zemin dan Zhu Rongji sebagai pengganti dari Zhao Ziyang yang menjadi tahanan rumah setelah tragedi tersebut.
Langkah-langkah cepat diambil untuk memperbaiki dan meningkatkan kembali perekonomian Cina. Privatisasi terhadap perusahaan milik negara yang sudah tidak produktif lagi. Kemudian memberikan peran lebih kepada pengusaha swasta, yang sebelumnya mendapatkan tekanan dari pemerintah.
Pada tahun 1997, pengembalian Hong Kong ke Cina, yang kemudian dilanjutkan dengan penerapan kebijakan ”satu negara, dua sistem”. Kebijakan ini memberikan Hong Kong otonomi khusus dalam menjalankan pemerintahannya. Tidak lama setelah Hong Kong, Macau menyusul kembali kepada Cina. Sampai saat ini hanya Taiwan yang belum kembali ke pangkuan Cina.
Pada tahun yang sama, Jiang Zemin menegaskan kembali bahwa Cina masih dalam ”sosialisme tahap awal”. Pemikiran ini merupakan buah pemikiran dari Zhao Ziyang yang melegitimasi pasar dan kapitalisme masuk ke Cina. Pemikiran ini diterapkan pada tahun 1987, dan 10 tahun kemudian Jiang menegaskannya kembali.
Kemudian Jiang Zemin juga menerapkan pemikirannya yang disebut dengan ”Tiga Perwakilan”. Dengan diberlakukannya pemikiran ini, maka pengusaha swasta dinyatakan sah menjadi bagian dari Partai Komunis Cina (PKC). Hal ini sampaikan pada saat PKC merayakan 80 tahun berdiri di Cina. Merupakan suatu kontradiksi dimana sebuah partai komunis mengesahkan aktor kapitalis masuk.
Tidak berhenti sampai disitu, Jiang juga membawa Cina masuk ke World Trade Organization (WTO). Cina menjadi bagian dalam badan perdagangan dunia yang menginginkan adanya pasar bebas. Hal ini juga menandakan Cina kembali ke panggung dunia dan menunjukkan keterbukaannya terhadap dunia luar.
Setelah Hu Jintao dan Wen Jiabao menjabat sebagai Presiden dan Perdana Menteri. Hu dan Wen berhadapan dengan cukup banyak permasalahan. Gap antara kaya dan miskin masuk ke dalam agenda kerja. Kemudian pencemaran lingkungan yang semakin parah akibat perkembangan industri yang sangat cepat menjadi isu yang dicermati oleh Hu-Wen. Maka dengan pemikiran ”Masyarakat Harmonis” dan ”Pembangunan Berciri Ilmiah”, Hu Jintao melakukan perbaikan terhadap masalah-masalah yang selama ini terabaikan. Masalah-masalah ini seperti ketimpangan antara kaya-miskin, desa-kota, pedalaman-pesisir.
Pada tahun 2008, merupakan tahun yang cukup berat dimana Cina mengalami banyak musibah, salah satu yang terparah adalah gempa di provinsi Sichuan dan virus flu burung yang melanda sebagian besar negara Asia. Tantangan juga datang dalam penyelenggaraan olimpiade 2008 di Beijing. Sebagai tuan rumah, Cina menyelenggarakan pesta olahraga akbar ini dengan baik dan tampil sebagai juara umum. Pada tahun ini juga dilaksanakan reformasi pada tingkat pedesaan.
Tahun 2009 merupakan tahun yang berat bagi negara di seluruh dunia, pada tahun ini terjadi krisis finansial global. Tetapi Cina dengan cadangan devisa yang banyak dapat dengan mudah menghadapi krisis ini. Pada tahun ini, Cina juga melaksanakan reformasi di bidang pelayanan kesehatan.

Tuntutan
Tuntutan yang disuarakan oleh para mahasiswa di lapangan Tiananmen, belum dapat dipenuhi oleh Cina hingga saat ini. Tuntutan akan diberantas korupsi, kolusi dan nepotisme masih sulit untuk dipenuhi. Penyuapan masih sering terjadi, apalagi pada tingkat pemerintahan lokal.
Dalam hal ini Oliver August, dalam bukunya In The Red Mansion : On The Trail of China’s Most Wanted Man, 2007, digambarkan bahwa masih banyak koruptor yang berkeliaran di Cina dan praktek penyuapan sering terjadi untuk membuka bisnis di suatu kota. Salah satu koruptor yang diburu pada saat itu adalah Lai Changxing yang melakukan penyelundupan dan menyuap para pejabat baik lokal maupun dalam pemerintahan pusat.
Tuntutan akan kebebasan yang lebih besar juga menemui kebuntuan. Pemerintah mengawasi secara penuh jaringan internet di Cina. Bahkan mensensor kata-kata yang berhubungan dengan demokrasi dan Falun Gong. Pemerintah juga dapat dengan cepat menghapus berita-berita mengenai hal-hal tersebut. Begitu juga dengan organisasi-organisasi masyarakat yang melawan dan bertentangan dengan pemerintah dengan cepat diberantas. Dalam hal ini adalah Falun Gong yang terus melakukan perlawanan terhadap pemerintah Cina. Organisasi lainnya adalah ”Gereja Bawah Tanah” yang menginginkan berada langsung di bawah Vatikan. Akan tetapi hal tersebut tidak diijinkan oleh pemerintah Cina. Oleh karenat itu, para pengikut kelompok ini melakukan ibadah secara diam-diam dan tidak memiliki gereja sendiri.
Masalah di Tibet dan Xinjiang juga masih belum tuntas. Xinjiang masih terus melakukan perlawanan terhadap pemerintah. Begitu juga dengan Tibet, yang pada bulan Maret 2008, melakukan aksi protes yang menghilangkan cukup banyak jiwa baik warga Tibet maupun para tentara. Pengamanan penuh terhadap Tibet masih terus dilakukan oleh pemerintah Cina.


Demokrasi

Perjalanan menuju demokrasi yang sesungguhnya masih sangat jauh bila melihat dalam konteks Cina. Cina memberlakukan pemilihan pada tingkat pedesaan, yaitu untuk memilih komite desa pada tahun 1988. Kemudian 10 tahun kemudian, Cina mengesahkan pemilihan di tingkat kabupaten.
Setiap tahun jumlah pemilih meningkat, hal ini menunjukkan antusiasme para warga desa cukup tinggi dalam memilih. Bahkan para buruh migran yang bekerja di kota, kembali desanya hanya untuk mengambil hak pilihnya. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada sekretaris partai yang berkuasa di setiap daerah yang pasti dipilih oleh partai. Setiap kandidat yang terpilih, kekuasannya masih di bawah para sekretaris partai.
Cina ingin mengembangkan demokrasi di tingkat akar rumput. Tetapi untuk sampai ke tingkat pusat, jalan yang ditempuh masih sangat panjang. Harus melewati tingkat kota, provinsi, kemudian baru pusat. Bahkan untuk sampai diterapkannya pemilihan langsung oleh rakyat, sepertinya dibutuhkan waktu yang cukup panjang.