Jumat, 17 Juli 2009

Satu Cina?

Sudah 60 tahun Cina dan Taiwan berselisih, Cina dengan tegas dan konsisten akan mengembalikan Taiwan ke pangkuan ibu pertiwi, sedangkan Taiwan pada 2 dekade terkahir ini mengiginkan pengakuan dunia internasional sebagai sebuah negara.
Sejak tahun 1949 Partai Nasionalis Cina (Kuomintang) yang dipimpin Chiang Kai Sek kalah dari Partai Komunis Cina (PKC) kemudian bermigrasi ke Pulau Taiwan, pada awalnya ingin merebut kembali Cina dari tangan PKC. Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu, Taiwan menemukan jalannya sendiri. Bahkan dapat dikatakan berdiri di kaki sendiri. Mereka dapat menumbuhkan perekonomian bagi rakyatnya dan mengekspor hasil produksi mereka sendiri. Tetapi semua itu sia-sia jika tidak mendapatkan suatu pengakuan atau identitas yang jelas.
Sejak Partai Progresif Demokratik (PPD) merebut kekuasaan dari tangan Kuomintang, Taiwan dengan gencar melakukan upaya untuk mendapatkan suatu pengakuan dari dunia internasional. Mereka membuat semacam referendum untuk melancarkan jalan untuk Taiwan menjadi sebuah negara. Sikap ini didukung oleh rakyatnya terutama pendukung PPD.
Di seberang Pulau Taiwan, Cina tidak akan tinggal diam membiarkannya begitu saja. Taiwan tidak boleh menjadi sebuah negara, tetapi justru sebaliknya yaitu kembali ke pangkuan Cina. Cina sudah menawarkan berbagai jalan keluar untuk Taiwan kembali. Contoh yang paling jelas adalah kebijakan “satu negara, dua sistem”. Sejak kembalinya Hong Kong pada tahun 1997, kemudian disusul dengan Macau, Cina sudah menerapkan sistem ini dan bertahan hingga sekarang.

20 tahun terakhir
Dalam 20 tahun terakhir ini, langkah-langkah yang diambil Cina sudah cukup baik. Pada tahun 1981, Ye Jianying, Ketua Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional mengeluarkan “Sembilan Prinsip”. Prinsip ini intinya berisi bahwa PKC dan Kuomintang membicarakan masalah hubungan antara Cina dan Taiwan. Hampir dari sembilan prinsip ini sifatnya persuasif mengajak Taiwan bergabung dalam satu negara. Cina banyak memberi janji manis kepada Taiwan. Tetapi Taiwan tidak menanggapi hal ini dengan serius.
Kemudian pada tahun 1992, kedua belah pihak bertemu di Singapura untuk membicarakan masalah hubungan antara keduanya. Hasil dari pembicaraan ini menghasil kan apa yang disebut dengan “Konsensus 1992”, yang intinya adalah mengacu kepada prinsip satu Cina. Pertemuan ini juga disebabkan oleh meningkatnya hubungan ekonomi dan bidang lainnya antara Cina-Taiwan. Taiwan mendirikan SEF (Straits Exchange Foundation) untuk mengurus masalah yang terjadi antara Cina dan Taiwan.
Pada tahun 1995, Presiden Jiang Zemin mengeluarkan “Delapan Poin”. Poin-poin ini hampir sama dengan “Sembilan Prinsip”-nya Ye Jianying, tetapi lebih ditegaskan kembali. Jiang menegaskan tidak akan menggunakan kekerasan dan akan mengedepankan negosiasi damai untuk mencapai reunifikasi. Kekerasan ditujukan kepada Pasukan Asing dan siapapun yang mendukung kemerdekaan Taiwan. Jiang juga mengatakan bahwa sesama orang Cina tidak boleh saling berperang.
Pada masa pemerintahan Hu Jintao mengeluarkan “Empat Poin Haluan”. Pertama, tetap mengacu kepada prinsip satu Cina. Kedua, jangan pernah menyerah untuk reunifikasi secara damai. Ketiga, jangan merubah prinsip memberikan harapan kepada masyarakat Taiwan. Kemudian yang terakhir adalah tidak akan berkompromi terhadap kemerdekaan Taiwan.
Cina secara terus-menerus melakukan usaha untuk mereunifikasi, tetapi tetap dalam koridor jalan damai. Kemudian Cina juga terus melakukan pendekatan dengan cara perdagangan, transportasi dan pos. Melihat perkembangan perekonomian Cina dalam 30 tahun terakhir ini, jalan perdagangan merupakan jalam yang paling ampuh untuk mendekatkan hubungan antar selat. Lalu pada bidang tranportasi, Cina dan Taiwan sudah memberlakukan penerbangan langsung di antara kedua negara. Hal ini melancarkan para masyarakat kedua negara untuk bepergian.
Menurut Xin Qiang, hubungan antar selat ini dalam periode bulan madu. Beijing menginginkan membangun kepercayaan antara kedua pihak, yang merupakan syarat utama untuk memajukan hubungan antara kedua belah pihak. Di satu sisi juga menyingkirkan perbedaan antara kedua pihak. Maka dengan begitu kedua belah pihak dapat menemukan atau menciptakan win-win solution. (China Security,Winter 2009)

Kuomintang
Sejak Kuomintang merebut kekuasaan dari tangan PPD dan menempatkan Ma Ying Jeou sebagai Presiden Taiwan, hubungan antar selat mengalami kemajuan. Meskipun jalan untuk reunifikasi masih dirasa sulit. Hal ini disebabkan oleh kampanye “Tiga Tidak” oleh Ma pada pemilihan presiden lalu, yaitu tidak reunifikasi, tidak merdeka, tidak menggunakan kekerasan.
Setidaknya Beijing dapat bernafas lega dalam masa pemerintahan Ma, Taiwan tidak meneruskan perjuangan untuk merdeka. Tetapi di sisi lain juga tidak ada reunifikasi di antara kedua pihak. Hal ini menandakan bahwa Ma menginginkan mempertahankan status quo yang dimiliki Taiwan sekarang. Oleh karena itu, Cina harus memanfaatkan dengan baik dan memperdalam hubungan dengan Taiwan pada masa pemerintahan Kuomintang ini.
Pada tanggal 12 Juni 2009, Li Hongmei, editor dari Harian Rakyat, mengeluarkan tulisan mengenai Ma Ying Jeou memperkenalkan aksara sederhana kepada masyarakat Taiwan. Li menyebutnya proposal yang bijaksana. Perlu diketahui sebelumnya bahwa Cina memiliki dua tipe aksara, yakni aksara sederhana dan aksara tradisional. Sejak merdeka, Cina menggunakan aksara sederhana meskipun di beberapa daerah di selatan masih banyak menggunakan aksara tradisional. Sedangkan Taiwan terus menggunakan aksara tradisional hingga saat ini.
Dengan memperkenalkan aksara sederhana kepada masyarakat Taiwan, dapat memudahkan komunikasi antara kedua belah pihak. Hal ini juga bisa menandakan bahwa Taiwan mulai menunjukkan indikasi untuk melakukan reunifikasi. Akan tetapi hal tersebut masih belum dapat dibuktikan, karena masyarakat Taiwan belum sepenuhnya yakin untuk melakukan reunifikasi dan masih ada PPD yang berjuang sekuat tenaga untuk meraih kemerdekaan untuk Taiwan. Lalu masih ada Amerika yang masih ikut campur. Kita lihat bagaimana akhir dari hubungan antar selat ini, apakah reunifikasi? Merdeka? Atau tetap pada status quo?

Tidak ada komentar: