Minggu, 25 Januari 2009

KELAHIRAN TERENCANA

Setelah membaca rubrik Kilasan Kawat Sedunia (Kompas, 16 Januari 2009) yakni pada bagian Beijing. Dalam rubrik tersebut diceritakan tentang jaringan penculikan anak balita yang akhirnya tertangkap oleh kepolisian China. Kemudian pada (Kompas, 19 Januari 2009) para ibu rumah tangga di Beijing menginginkan dua anak, karena bila satu anak saja, anak tersebut akan merasa kesepian. Dua kejadian di atas hanya salah dua contoh dari akibat penetapan kebijakan satu anak.

Kebijakan satu anak ini ditetapkan pada tahun 1979. Kebijakan ini bertujuan mengerem laju pertumbuhan penduduk. Laju pertumbuhan penduduk ini semakin meningkat ketika terjadi kelahiran besar-besaran (Baby Boomers) pada tahun 1960an. Hal lain yang menyebabkan ditetapkannya kebijakan ini adalah sulitnya penyediaan makanan, pakaian, tempat tinggal, transportasi, pendidikan, layanan kesehatan dan lapangan pekerjaan bila penduduk selalu bertambah setiap tahunnya. Kebijakan ini juga untuk mendukung reformasi ekonomi China.

Dalam bahasa Mandarin, kebijakan satu anak (Jihua Shengyu) yang artinya kelahiran terencana. Pemerintah China sangat tegas dalam pelaksanaan kebijakan satu anak ini. Hal ini terlihat dari jumlah pekerja tetap yang menangani kontrol kelahiran mencapai 60.000 ribu orang pada tahun 1980. Kemudian pada tahun 1995, meningkat menjadi lebih dari 400.000 orang.

Bila zaman dahulu banyak terlihat pemandangan sebuah keluarga tinggal dalam satu rumah yang terdiri dari tiga sampai empat generasi. Setidak-tidaknya seperti yang digambarkan oleh Pearl S. Buck dalam novelnya yang berjudul Bumi yang Subur dan Madame Wu : Pavillion of Women. Pemandangan tersebut sudah tidak ada lagi pada China pada zaman sekarang. Perkataan (duozi duofu) banyak anak banyak rezeki juga sudah tidak berlaku lagi.

Hal yang berlaku sekarang adalah satu anak cukup dan tidak boleh lebih. Tetapi ada penyesuaian yang dilakukan oleh pemerintah Cina dalam mengontrol populasinya. Semua warga negara Cina atau semua pasangan di Cina harus mematuhi kebijakan satu anak ini, kecuali suku minoritas dan pasangan yang tinggal di pedalaman atau di pegunungan.
Bagaimana bila anak pertamanya perempuan? Pasangan tersebut diperbolehkan untuk mempunyai anak lagi. Hal ini berkaitan dengan budaya Cina tradisional, merupakan suatu kebaikan bila memiliki anak laki-laki. Menurut Zhenchao Qian, Professor Sosiologi dari Univesitas Ohio, Interval kelahiran dari anak pertama dan anak kedua minimal empat tahun dan sang ibu harus mencapai umur 28 tahun. Bila melanggar peraturan ini akan didenda 2.5 kali lipat dari pendapatan desa per kepala pada tahun sebelumnya.

Seiring dengan berjalannya waktu, jenis kelamin anak tidak lagi dipermasalahkan oleh kedua orang tua. Hal ini disebabkan oleh reformasi ekonomi yang dilakukan pemerintah Cina. Reformasi ini justru membuka peluang untuk para perempuan bekerja dan menghasilkan uang untuk kedua orang tuanya. Berbeda pada zaman Cina tradisional, yang mengharuskan anak laki-lakinya bekerja di sawah sedangkan anak perempuan tinggal di rumah, membantu ibunya mengurus rumah tangga. Sisi positif lainnya yang mendukung kebijakan satu anak ini adalah mahalnya biaya membesarkan anak. Hal ini juga menjadi pertimbangan orang tua yang ingin memiliki anak kedua.
Permasalahan yang lebih berat yang akan dialami Cina adalah penurunan tingkat kelahiran yang akan mengakibatkan perubahan struktur populasi. Kebijakan satu anak ini menyebabkan orang tua hanya melahirkan sedikit anak, maka tingkat kelahiran akan menurun. Tingkat kelahiran di Cina semakin menurun sampai 1.8 per pasangan, sedangkan tingkat kelahiran terburuk dipegang oleh Italia dan Jepang yakni di bawah 1.0 per pasangan.

Akibatnya adalah perubahan struktur populasi yaitu usia muda akan menjadi lebih sedikit dibandingkan usia tua/pensiun. Maka para bayi ini harus menanggung para kakek-nenek yang sudah pensiun dan sudah tidak dapat bekerja lagi. Menurut Wang Feng, Profesor dari Universitas California, Pada tahun 2015, demografi di Cina akan sedikit mengalami perubahan, populasi akan semakin menua dan persediaan buruh akan menurun dengan sangat tajam. Untuk mencegah terjadinya hal tersebut maka pemerintah Cina mulai sekarang harus melakukan perubahan dalam jangka waktu 10 tahun ke depan.
Pada tahun 2033, Cina akan memiliki populasi sebesar 1.5 miliar, jumlah yang tidak sedikit mengingat Cina sekarang juga sudah memiliki seperdelapan populasi dunia dengan ekonomi termaju di dunia. Maka Cina mau tidak mau memikirkan cara untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh kebijakan satu anak tersebut.

Minggu, 04 Januari 2009

REFORMASI CINA & PENGUSAHA SWASTA

Sejak Sidang Pleno Ketiga dari Kongres ke-11 Komite Pusat PKC, Cina melakukan terobosan besar dalam mereformasi ekonominya. Cina memulai kebijakannya yang dikenal dengan Reformasi dan Keterbukaan (Gaige Kaifang). Perubahan yang mendasar terdapat pada sistem ekonominya, dari sistem ekonomi terencana menjadi sistem ekonomi pasar. Banyak akibat yang ditimbulkan dari penetapan kebijakan ini, seperti Cina membuka dirinya untuk menerima penanaman modal asing, kemudian dibangun Zona Ekonomi Khusus, privatisasi Perusahaan Milik Negara.
Ada satu elemen yang juga terkena efek langsung dari reformasi dan keterbukaan tersebut, yaitu para pengusaha swasta. Elemen masyarakat yang dulu telah ”hilang” pada masa kepemimpinan Mao Zedong, kini muncul kembali.
Kemunculan kembali pengusaha swasta ini untuk ”mengisi kesenjangan” yang ditinggalkan oleh sektor milik negara dalam hal produksi dan sirkulasi dari barang-barang dan jasa konsumen. Tujuan lainnya adalah untuk menstimulasi aktivitas dan kompetisi pasar, dan juga menyediakan lapangan kerja. Akan tetapi mendorong pengusaha swasta untuk tumbuh akan menyebabkan eksploitasi dan kemunculan kembali kapitalisme. Dalam mengatasi ketakutan tersebut, maka para pengusaha swasta ini akan didominasi dan dikontrol oleh pemerintah melalui sistem ekonomi sosialis. Oleh karena itu, mereka tidak bisa berkembang lebih dari skala yang yang ditetapkan oleh pemerintah Cina. (Susan Young,1991)
Perkembangan pengusaha swasta ini pada awalnya dibatasi hanya pada industri individu atau industri rumah tangga (getihu). Pengusaha swasta dalam sektor ini hanya diperbolehkan mempekerjakan maksimal tujuh orang, dan 5 di antaranya merupakan orang-orang yang sedang magang.
Meskipun pengusaha swasta mendapatkan tekanan pada tahun 1983 untuk membersihkan ”Spiritual Pollution”, para pemerintah daerah memanfaatkan kesempatan untuk menuduh pengusaha swasta bahwa mereka memperjualbelikan pornografi dan melakukan penyelundupan lainnya. Namun kampanye ini berakhir pada tahun 1984. Kemudian, Rapat Pleno Ketiga dari Kongres ke-12 Komite Pusat PKC pada bulan Oktober 1984, menyatakan bahwa pemerintah Cina akan meningkatkan reformasi ke tahap yang baru. Ketetapan komite atas ”Keputusan Reformasi dari Struktur Ekonomi” menyatakan bahwa pemerintah Cina akan memperdalam reformasi dan memberikan dukungan untuk perkembangan ekonomi individu. Hal ini bertujuan untuk mendorong orang untuk membuka usahanya, menenangkan ketakutan pengusaha swasta akan kemungkinan terjadinya pemutarbalikkan kebijakan dan memberi dukungan sosial bagi perluasan sektor swasta. (Lora Sabin,1994)
Pengusaha individu atau getihu ini terdiri dari penjual makanan keliling, pedagang yang berpindah-pindah, dan pemilik usaha eceran yang pada periode pra reformasi telah termarjinalisasi dan tidak mendapatkan keuntungan dari Perusahaan Milik Negara. Pada kenyataannya, kebanyakan dari pengusaha individu ini berasal dari para petani yang tidak lagi bekerja secara kolektif.
Ternyata perkembangan dari getihu ini memaksa pemerintah Cina pada tahun 1988, untuk melegalisasi perusahaan swasta (siying qiye), yang diperbolehkan untuk memiliki pegawai yang terdiri dari delapan orang atau lebih.
Setelah Kampanye ”Spiritual Pollution”, pada tahun 1989, terjadi demonstrasi besar-besaran oleh para mahasiswa di Lapangan Tian’anmen tanggal 3-4 Juni 1989, yang dikenal dengan ”Peristiwa Tian’anmen”. Peristiwa ini sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Cina. Seluruh bagian dari ekonomi Cina terkena imbasnya, sehingga pada sekitar tahun 1989, pertumbuhan ekonomi Cina menurun. Tidak terlepas pengusaha swasta, yang juga secara tidak langsung terkena imbas dari peristiwa ini.
Ternyata akibat yang ditimbulkan oleh ”Peristiwa Tian’anmen” ini begitu besar, sehingga sampai tahun 1992 pertumbuhan ekonomi Cina tidak kunjung membaik. Maka Deng Xiaoping bersama beberapa pejabat pemerintah Cina lainnya melakukan ”perjalanan ke selatan”. Dalam perjalanan ini, Deng mengunjungi kota-kota besar di daerah selatan Cina dan mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Cina tidak boleh dilakukan setengah-setengah. Setelah melakukan perjalanan ini, perlahan-lahan pertumbuhan ekonomi Cina membaik dan terus meningkat sampai sekarang.
Contoh komoditi yang dihasilkan industri perusahaan swasta seperti baju, sepatu, kaos kaki, tekstil yang sangat berkembang di Cina, lalu ubin atau keramik, alumunium untuk jendela rumah, dan lain-lain. Sedangkan restoran, salon kecantikan, transportasi, dan lain-lain merupakan bentuk-bentuk usaha swasta di bidang jasa. Di bidang industri ringan, industri-industri swasta ini bergerak di bidang produksi baju, kawat nyamuk, pembersih kaset. Sedangkan di bidang makanan mencakup perusahaan roti dan kue, es balok, bibit-bibit melon. Menurut statistik Biro Industri dan Perdagangan Cina, lebih dari 70 persen perusahaan swasta yang terletak di wilayah pedesaan, sebagian besar bergerak di bidang industri, pertambangan, transportasi, dan konstruksi, dan sedikit dalam bidang perdagangan.
Tetapi para pengusaha swasta hanya bisa berproduksi di bidang-bidang yang telah disebutkan di atas. Karena pemerintah Cina tidak mengijinkan pengusaha swasta bergerak di segala bidang. Di mata pemerintah Cina, ada beberapa bidang kehidupan yang hanya bisa dikelola oleh Perusahaan Milik Negara. Jika dilihat dari hasil presentase di atas pengusaha swasta kebanyakan bergerak di bidang sekunder dan tersier, sedangkan hanya sedikit sekali primer, bahkan dapat dikatakan hampir tidak ada yang bergerak di bidang primer. Dengan demikian, bidang kehidupan primer masih dipegang oleh pemerintah Cina. Mereka tidak ingin bidang kehidupan yang paling penting itu dikuasai oleh para pengusaha swasta. Sebagian besar komoditi industri di Cina masih dimonopoli oleh pemerintah Cina.
Berdasarkan Sensus Ekonomi Nasional tahun 2005, sampai pada tahun 2001 perusahaan swasta di Cina mencapai 1.98 juta. Total ekspor dari perusahaan swasta ini meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan statistik menurut Departemen Perdagangan Cina, pada tahun 2002 jumlah ekspor mencapai US$ 32.77 juta, kemudian pada tahun 2003 mencapai US$ 60 juta, dan pada tahun 2004 menembus angka US$ 0.1 miliar.
Dari sini terlihat bahwa ”kemunculan” kembali kelas pengusaha swasta di Cina disebabkan oleh keadaan perekonomian Cina yang sangat terpuruk setelah Revolusi Kebudayaan. Situasi ini telah memaksa pemerintah Cina untuk menetapkan kebijakan yang dapat menumbuhkan kembali perekonomian Cina. Hal ini hanya dapat terwujud jika pemerintah Cina dibantu oleh elemen masyarakat yang memiliki potensi untuk mewujudkan kebijakan tersebut. Kelas pengusaha swasta merupakan salah satu bagian dari elemen-elemen ini, sehingga kemunculannya merupakan suatu keadaan yang tidak terhindarkan. Bahkan sampai tahun 2008 ini, pengusaha swasta menjadi salah satu ujung tombak kemujuan ekonomi Cina.