Minggu, 09 Oktober 2011

Properti Gender

“In order to build a great socialist society it is of the utmost importance to arouse the broad masses of women to join in productive activity. Men and women must receive equal pay for equal work in production. Genuine equality between the sexes can only be realized in the process of the socialist transformation of society as a whole.” (Introductory note to "Women Have Gone to the Labour Front" (1955), The Socialist Upsurge in China's Countryside, Chinese ed., Vol. I.)

Melihat kutipan dari Mao Zedong di atas bagaimana kesetaraan gender menjadi salah satu bagian dari pemikirannya. Bahwa masyarakat sosialis yang sempurna akan membentuk kesetaraan gender.

Namun yang terjadi di Cina sekarang ini malah sebaliknya, pada bulan Agustus 2011 lalu, kaum perempuan Cina digemparkan oleh amandemen undang-undang pernikahan di Cina. Perubahan ini menyebabkan ketidakadilan bagi kaum perempuan di Cina. Banyak kritikan dan protes yang muncul ke permukaan terutama melalui jejaring sosial di Cina. Sina Weibo, blog mikro milik Sina.Corp yang menyerupai jejaring sosial “Twitter” menjadi corong kritik para kaum perempuan.

Amandemen ini berkaitan dengan kepemilikan tempat tinggal (rumah/apartemen) pribadi bila nanti terjadi perceraian pada pernikahan sepasang suami istri. Pada awalnya, dalam undang-undang tersebut hak kepemilikan diatur secara bersama-sama, namun Mahkamah Agung Rakyat Cina mengubah peraturan tersebut, hak kepemilikan tempat tinggal harus atas nama sang kepala keluarga atau suami.

Hal ini menimbulkan polemik baru bagi sebuah institusi keluarga di Cina, karena bila bercerai sang istri tidak dapat menuntut kepemilikan atas rumah yang telah mereka tinggali bersama. Meskipun sang istri juga ikut bekerja dan ikut membayar kredit kepemilikan rumah tersebut. Karena semuanya atas nama suami dan tidak bisa diganti dengan nama sang istri.

Melihat tingkat presentase perceraian di Cina, berdasarkan data yang dihimpun oleh Kementerian Urusan Sipil Cina, justru cenderung meningkat akhir-akhir ini. Pada paruh pertama tahun 2011, tercatat 946.000 pasangan yang mengajukan perceraian. Sedangkan pada tahun 2010 lalu, terdapat 1.96 juta laporan kasus perceraian yang diterima, bila dipresentasekan meningkat 14,5 % setiap tahunnya. Dengan munculnya perubahan peraturan ini, maka akan terdapat banyak istri-istri yang terlantar dan tidak memiliki rumah untuk kembali.

Perubahan
Undang-undang yang mengatur pernikahan di Cina sudah mengalami perubahan beberapa kali. Sejak Republik Rakyat Cina berdiri peraturan inilah yang membawa perempuan memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki. Pada masa Cina tradisional, aroma feudalisme sangatlah kental. Kaum perempuan tidak bisa memilih pasangan hidupnya sesuai dengan keinginannya. Karena pada zaman tersebut, perempuan hanya menunggu dijodohkan orang tua dengan calon suaminya yang sama sekali belum dikenalnya. Kemudian sang suami juga boleh memiliki istri lebih dari satu atau dengan kata lain poligami.

Kemudian ketika gelombang sosialisme masuk, diakhiri dengan didirikannya Republik Rakyat Cina, segala macam bentuk perjodohan dihapus oleh Mao Zedong. Kaum perempuan juga dapat memilih pasangan hidupnya sendiri, sama seperti kaum laki-laki. Lalu kaum laki-laki tidak boleh memiliki istri lebih dari satu. Semua yang berkaitan dengan keluarga dimiliki secara bersama-sama bukan secara individu.

Ketika memasuki era Reformasi dan Keterbukaan yang dipimpin oleh Deng Xiaoping, hukum pernikahan ini mengarah kepada hak kepemilikan pribadi terhadap tempat tinggal. Ketika memasuki era Hu-Wen ini perubahan undang-undang terlihat “memihak” kaum laki-laki.

Meskipun pertumbuhan harga property di Cina yang melambung tinggi, namun Cina juga memiliki presentase yang tinggi dalam kepemilikan rumah, yakni sekitar 80 % pada tahun 2010. Mayoritas penduduk Cina, mendaftarkan kepemilikan rumah atas nama sang kepala rumah tangga. Kepala Rumah Tangga tersebut merupakan sang suami. All China Women’s Federation berpendapat bahwa sebagian besar kepala rumah tangga lah yang mengontrol properti tersebut dan menentukan segala hal yang berhubungan dengan tempat tinggal tersebut.

Para pasangan yang akan menikah tidak menginginkan sebuah “pernikahan telanjang”, yakni tidak memiliki rumah/tempat tinggal untuk mereka. Hal tersebut merupakan sebuah aib bagi sebuah keluarga. Untuk menghindari hal tersebut, maka para orang tua, terutama orang tua laki-laki banyak yang membelikan rumah untuk anaknya. Hal ini bertujuan untuk menarik calon istri bagi anaknya tersebut.

Menurut Leta Hong Fincher, kandidat Ph.D bidang Sosiologi di Universitas Tsinghua, Cina, berpendapat bahwa permasalahan tempat tinggal ini tidak hanya terbatas pada kaum perempuan di daerah perkotaan tetapi juga kaum perempuan di daerah pedesaan. Karena kaum perempuan di pedesaan kehilangan tempat tinggal dan lahan pertaniannya.

Hipotesis yang diberikan oleh Leta Hong Fincher bahwa bias gender berdasarkan kekayaan yang timbul di Cina lebih disebabkan tingginya kenaikan harga dari rumah/apartemen. Respon dari kaum perempuan Cina mungkin tidak akan melakukan protes langsung kepada pemerintah, melainkan mereka akan pelan-pelan mundur dan memilih tidak menikah seperti kaum perempuan di negara Asia lainnya, yakni Singapura dan Jepang. Kaum perempuan yang berusia muda akan memilih untuk punya rumah sendiri daripada harus menikahi seorang pria untuk menyediakan sebuah tempat tinggal untuk mereka.

Perkembangan ekonomi pasar sosialis Cina yang semakin membawa Cina ke dalam kapitalisme yang menjadi salah satu pemicu perubahan di segala bidang. Apakah kaum perempuan di Cina akan bergerak atau statis? Mari kita simak bersama.