Kamis, 12 November 2009

CAFTA

ASEAN Summit ke-15 yang diselenggarakan pada tanggal 23-25 Oktober lalu di Hua Hin, Thailand, menjadikan agenda pertama bagi kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Dalam pertemuan tersebut mencakup Pertemuan Cina-ASEAN ke-12, Pertemuan Jepang-ASEAN ke-12, Pertemuan Korea Selatan-ASEAN ke-12, Pertemuan ketujuh India-ASEAN, Pertemuan ASEAN+3 ke-12 dan Pertemuan keempat East Asia Summit (EAS).

Pertemuan ini membahas banyak masalah seperti : Deklarasi Cha-am Hua Hin untuk Inagurasi ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR), Memperkuat kerjasama di bidang pendidikan dalam rangka mewujudkan ASEAN Caring and Sharing Community, Rancangan Pernyataan mengenai perubahan iklim, dan pernyataan para pemimpin negara mengenai konektivitas ASEAN.

Tetapi pertemuan ini bagi Cina dan ASEAN menjadi penting, karena menyambut China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA) yang dijadwalkan pada tahun 2010. Dalam jangka waktu kurang lebih dua bulan kesepakatan ini akan mulai dijalankan. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai kesiapan ASEAN dalam menghadapi kesepakatan CAFTA tersebut.

Semakin Mesra

Pada tahun 1990an, Cina yang bangkit sebagai kekuatan ekonomi dunia yang baru mulai melebarkan sayapnya ke dunia internasional, khususnya ASEAN. Hal ini bertujuan untuk menyampaikan kepada dunia bahwa Cina bukan ancaman melainkan mitra yang bersahabat. Hal ini disebabkan oleh Teori ancaman Cina (China Threat) yang diyakini para pemikir dari Barat. Tetapi teori ini tidak berlaku bagi ASEAN yang merupakan negara tetangga dan berbatasan langsung dengan Cina.

Pada 19 Juli 1991, Menteri Luar Negeri Cina, Qian Qichen menghadiri ASEAN Ministerial Meeting di Kuala Lumpur. Cina mulai menunjukkan ketertarikan untuk bekerja sama dengan ASEAN.

Kemudian pada bulan September 1993, dilaksanakan kunjungan balasan oleh Sekretaris Jenderal ASEAN pada saat itu Dato’ Ajit Singh. Kemudian pada tanggal 23 Juli 1994, terjadi exchange of letters antara Sekjen ASEAN dan Menlu Cina yang menyetujui pembentukan komite kerjasama di bidang ekonomi, perdagangan dan IPTEK.

Cina dipercaya menjadi “consultative partner”, yang kemudian pada tahun 1996, dipercaya menjadi mitra wicara (Dialogue Partner).

Pada tahun 1997, terdapat setidaknya lima kerangka pembicaraan antara Cina dan ASEAN. Dimulai dari Konsultasi Politik antara Cina dan ASEAN pada tingkat senior, Komite Gabungan Kerjasama Ekonomi dan Perdagangan, ASEAN-China Joint Cooperation Committee (ACJCC), Komite Gabungan Kerjasama IPTEK, dan Komite ASEAN-Beijing.

Pada bulan Desember 1997, merupakan pertemuan informal pertama ASEAN+1. Pertemuan ini dihadiri oleh Jiang Zemin dan para pemimpin negara ASEAN.

Kemudian hubungan antara ASEAN dan Cina semakin mendalam ketika terjadi Krisis Finansial Asia yang menyebabkan banyak negara di Asia bertumbangan. Tetapi tidak untuk Cina. Cina justru berdiri kokoh. Kebijakan untuk tidak mendevaluasi Yuan, merupakan kebijakan yang menyelamatkan negara ASEAN khususnya dari keterpurukan.

Setelah terjadinya Krisis Asia, hubungan Cina dan ASEAN semakin mesra. Hal ini terlihat dari deklarasi yang dihasilkan selama pertemuan berlangsung. Pada tahun 2002, Cina-ASEAN menyetujui memperkuat kerja sama ekonomi dan Deklarasi Gabungan kerjasama dalam masalah keamanan non-tradisional antara Cina dan ASEAN. Pada 29 April 2005, hubungan kedua belah pihak semakin dalam dengan mewujudkan Action Plan to Implement the Joint Declaration of China-ASEAN Strategic Partnership. Selama empat tahun, Cina juga menyelenggarakan ASEAN-China Expo di Nanning.

CAFTA

Pada bulan November 2002, KTT ASEAN ke-8 di Kamboja, ASEAN dan Cina menandatangani Kerangka Kesepakatan Kerja Sama Ekonomi Menyeluruh. Hal ini merupakan tanda bagi kedua belah pihak untuk memperkuat kerja sama ekonomi.

Dalam kesepakatan ini, mencakup proses penurunan tarif dalam tiga kategori : Early Harvest Program (EHP), Jalur Normal, dan Jalur Sensitif. Jalur Sensitif kemudian dibagi lagi menjadi dua yaitu Sensitif dan Sangat Sensitif.

Kerja sama ekonomi ini semakin diperkuat dengan Treaty Amity and Cooperation (TAC) pada tahun 2003. Dengan demikian, hubungan kedua belah pihak semakin lancar dan aman.

Namun masih terdapat masalah-masalah yang belum diselesaikan. Menurut Alexander C. Chandra, potensi masalah yang harus diperhatikan adalah pertama, ASEAN dan Cina cenderung terlalu menekankan keuntungan jangka panjang tanpa memperhatikan dampak ekonomi jangka pendek. Kedua, kebaikan Cina untuk memberikan liberalisasi unilateral di bawah skema EHP terdengar terlalu muluk. Ketiga, indonesia dan ASEAN perlu memberikan perhatian lebih terhadap tantangan yang muncul dari Cina di bidang penanaman modal. Saat ini, negara-negara ASEAN semakin tertinggal dalam urusan penanaman modal dari negara Asia lainnya. Keempat, Indonesia juga perlu memperhatikan sejauh mana kemampuan kita untuk memasuki pasar Cina. Kelima, data yang tidak akurat dari pihak Cina mempersulit pembuat kebijakan ASEAN pada umumnya dan Indonesia pada khususnya untuk membuat kebijakan yang tepat. Keenam, CAFTA tentunya memiliki potensi untuk memperlemah proses integrasi ASEAN. (Merangkul Cina, 2009)

Pada akhirnya, Indonesia dan ASEAN harus memikirkan dan menemukan solusi untuk masalah-masalah tersebut. Bila mau untung, bukan buntung.

http://studiasinica.net/2009/11/07/cafta/

1 komentar: