Minggu, 01 November 2009

MEDIA DI CINA BUKAN CORONG PEMERINTAH

Seminggu setelah perayaan ulang tahun Cina yang ke-60, Cina kembali menarik perhatian dunia, terutama media massa. Hal ini disebabkan oleh diadakannya World Media Summit (WMS) di Beijing.
Pertemuan ini diselenggarakan oleh kantor berita Xinhua sebagai tuan rumah dan dihadiri 130 perwakilan media dari 70 negara dan juga 40 media Cina. Perwakilan Indonesia adalah Antara, Kompas dan Jawa Pos Group.
Pertemuan ini bertemakan “Kerja sama, Aksi, Menang-menang (win-win) dan Perkembangan”. Tema ini didasarkan pada krisis finansial global yang melanda dunia selama setahun lebih. Dalam hal ini, bagaimana media mengambil sikap untuk tetap bertahan dalam krisis ini.
Pertemuan Media seluruh dunia ini juga menandakan bahwa Cina memiliki daya tarik dan kekuatan lunak yang berhasil menaklukan dunia. Tetapi pertemuan ini juga menjadi tantangan bagi Cina yang masih mengontrol media dan informasi. Hal lain yang patut diingat bahwa Cina juga merupakan negara yang sering memenjarakan jurnalis. Bagaimana Cina menghadapi tantangan ini?

Corong pemerintah

Semua media massa di Cina selama masa pemerintahan Mao berada di bawah kekuasaan negara. Media massa sebagai corong negara atau partai untuk menyampaikan berita dan sekaligus alat propaganda negara.
Media massa mengalami perubahan sejak tahun 1978, bertepatan dengan diterapkannya kebijakan “reformasi dan keterbukaan” oleh Deng Xiaoping. Reformasi yang terjadi pada media massa adalah tidak lagi disubsidi oleh negara. Masing-masing media massa harus bersaing di pasar dengan kemampuannya sendiri.
Perkembangan yang signifikan juga terjadi pada masa ini. Pada tahun 1978, hanya ada 1.116 koran dan majalah. Sedangkan pada tahun 2002, meningkat mencapai 11.166. Kemudian pendapatan dari periklanan, dari nol pada awal era reformasi meingkat menjadi $18 miliar pada tahun 2005, atau 0.78% dari Produk Domestik Bruto. Akan tetapi peningkatan ini mengalami penurunan ketika terjadi peristiwa Tian’anmen. Tragedi ini menyebabkan perusahaan koran dan majalah gulung tikar. Hal ini kembali normal setelah tiga tahun, yang bertepatan dengan ”Perjalanan ke Selatan” oleh Deng Xiaoping. Peristiwa ini merupakan kebangkitan kembali media massa di Cina.
Dalam perkembangannya, media massa mencari bentuknya sendiri dalam menghadapi era baru reformasi Cina yang berdasarkan ekonomi pasar. Gong Xueping, Sekretaris Partai Shanghai yang merupakan arsitektur perkembangan media penyiaran di Shanghai pada tahun 1990an, menyarankan bahwa media massa di Cina setidaknya dapat menciptakan media massa ”sosialis” yang berkarakteristik Cina. Menggabungkan dua tipe model media massa, yaitu tipe Soviet, yang mementingkan pemberitaan mengenai para pemimpinnya dan tidak memedulikan opini publik; dan tipe Gaya Barat, yang populer dan menguntungkan tetapi tidak peduli terhadap bidang sosial.
Tetapi peningkatan ini tidak diikuti dengan kebebasan pers. Negara masih mensensor dan mengontrol seluruh media massa di Cina.
Kekuasaan tertinggi berada di tangan Departemen Propaganda. Departemen ini menguasai media massa di Cina. Aman tidaknya berita bagi negara ditentukan oleh departemen ini. Jurnalis harus menerapkan self-censorship dalam memuat berita. Jika berita tersebut membahayakan bagi negara, maka Departemen Propaganda dengan cepat mengambil tindakan pengamanan.
Tindakan ini seperti menghentikan penyaluran berita tersebut, memecat editor atau manajer perusahaan media tersebut dan digantikan oleh yang dipilih oleh negara. Pemilihan manajer baru ini memakai sistem nomenklatura. Kemudian Departemen tidak lupa untuk memenjarakan para jurnalis yang menulis berita tersebut.

Ketidakpastian

Jurnalis di Cina mengalami perasaan serba salah. Hal ini dikarenakan diterapkannya “sensor pribadi” dalam memuat berita. Mereka tidak mengetahui apakah berita tersebut membahayakan negara atau tidak. Hal ini berhubungan dengan rahasia negara, yang jurnalis buta tentang hal tersebut.
Jonathan Hassid dalam artikelnya berpendapat bahwa usaha di bidang media merupakan bisnis yang tidak pasti (uncertain business). Cina menggunakan kekuatan ketidakpastian (The Power of Uncertainty). Jurnalis diselimuti oleh ketidakpastian dalam memuat berita. Tanpa sensor pra-publikasi, media massa mustahil mengetahui berita yang dimuat merupakan berita yang aman. Meskipun Departemen Propaganda telah mengeluarkan garis besar dalam penulisan berita. Tetapi hal ini dirasakan masih kurang jelas bagi jurnalis dan editor. Hal ini menjadi strategi yang ampuh bagi negara untuk mengontrol media massanya.
Topik-topik yang sensitif untuk dimuat dalam media massa adalah kejadian tiba-tiba seperti bencana alam. Kemudian gerakan demokrasi di Cina, separatisme atau etnis minoritas, pemogokan buruh, korupsi di dalam PKC, demontrasi besar-besaran, bencana yang dibuat oleh manusia, penyakit menular yang menimbulkan kritik dari dunia internasional.
Contohnya ketika penyakit SARS pada tahun 2003 yang menghebohkan dunia. Padahal penyakit tersebut sudah mengjakiti warga cina kira-kira setahun sebelumnya. Tetapi Cina ”menyembunyikan” atau tidak memberitakan hal tersebut kepada rakyat dan masyarakat dunia. Karena pada tahun tersebut bertepatan dengan pemilihan presiden baru pengganti Jiang Zemin, yakni Hu Jintao. Lima tahun berlalu, kasus yang mirip terulang kembali. Pada kali ini, bertepatan dengan Olimpiade 2008. Cina tidak memberitakan kasus keracunan susu pada anak-anak. Berita ini muncul setelah olimpiade terlaksana.
Jika ada jurnalis yang memberitakan sesuatu yang sensitif, maka akibatnya mereka tidak mendapat gaji atau bonus, yang jumlahnya setengah dari gaji pokok mereka. Jurnalis yang seperti ini akan cepat kehabisan uang. Kebebasan untuk memberitakan pun terpaksa dikompromikan.

Tidak ada komentar: