Sebagai mahasiswa sastra Cina, merupakan suatu keharusan untuk bertemu Romo Wibowo, begitulah kami semua menyebutnya. Karena mahasiswa sastra Cina akan selalu bertemu dengan beliau pada kuliah Pengantar Kebudayaan Cina, Romo memilliki satu sesi pada setiap kuliah tersebut. Saya masih semester 3 (kira-kira tahun 2005) dan sudah mendengar cerita dari para senior bahwa beliau galak, disiplin, dan sebagainya. Saya justru bukannya takut melainkan sangat bersemangat untuk bertemu dengan beliau.
Saya datang sekitar 5 menit, sebelum sesi Romo dimulai, tetapi tas beliau sudah tiba lebih dahulu dari saya. Romo sudah sampai tetapi sedang mengambil daftar absen mahasiswanya. Pada sesi itu, kami dibiarkan untuk bertanya apa saja tentang Cina dan menuliskan pertanyaannya di sebuah kertas kecil. Beragam pertanyaan yang diajukan, tapi dengan santai dan ajeg beliau menjawabnya tanpa basa-basi. Ada kesan yang ditimbulkan pada pertemuan tersebut, ketika pertanyaan saya dibacakan. “Bagaimana perkembangan hubungan ekonomi antara Cina dan Indonesia?, ini pertanyaan kamu kan?.” Sambil menunjuk kepada saya. Beliau melanjutkan, “Mengapa kamu tanya kembangnya aja, tanya donk batangnya.” Sesaat saya bingung, ternyata maksud beliau adalah per-kembang-an, saya tertawa dalam hati karena tidak berani tertawa secara lantang. “Baca Kompas minggu kemarin saja, jadi saya tidak perlu jawab pertanyaan ini”, ujar beliau. Kemudian saya hanya bisa mengangguk.
Terkejut bagaimana beliau dapat mengetahui bahwa pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan dari saya. Kemudian pada suatu kesempatan, saya mencari Kompas yang ditunjukkan oleh beliau dan memang pada koran tersebut informasi mengenai hubungan ekonomi Cina dan Indonesia yang lengkap sekali.
Ketika semester 6 beliau, saya menghadapinya dengan semangat karena akan mengikuti kuliah dari beliau. Pada suatu ketika, saya bertemu beliau sedang makan di Kantin Sastra bersama dengan mahasiswanya (mungkin pada saat itu ada Bangkit, dkk tapi saya belum kenal). Saya langsung mengemukakan bahwa saya akan mengikuti kuliah beliau. Dengan antusias pula beliau menanggapi dan memberi saya tugas pertama untuk mencari 10 orang teman saya, mahasiswa sastra Cina yang juga ingin mengikuti kuliah beliau. Minggu depannya, saya berhasil mengerjakan tugas tersebut dan mengumpulkan 10 orang teman saya lainnya. Saya bertemu lagi di Kantin dan menyerahkan daftar nama mahasiswa yang ingin ikut kuliah tersebut. Beliau menanyakan nama saya, itu merupakan perkenalan pertama kali dengan beliau.
Pada kuliah Sistem Sosial Politik Cina, saya mendapatkan banyak ilmu. Mungkin karena sangat banyak, maka saya tidak dapat menuliskannya satu per satu disini. Saat itu, saya juga merasa diri saya sangat rendah karena tidak mengetahui apa-apa dibandingkan dengan Atit, Achy, Haripin, Ara dan Bangkit. Tapi bukannya saya jatuh, tapi justru saya semakin bersemangat untuk mempelajari lebih jauh dengan Cina dengan bantuan teman-teman yang sudah selangkah lebih jauh dari saya. Saya diperkenalkan dengan Politik Cina yang saya sangat buta sama sekali tentang hal tersebut. Saya diisi dengan berbagai macam informasi terkini dari Cina dan “dipaksa” untuk terus membaca. Kuliah yang dibawakan oleh beliau layaknya kuliah di luar negeri dan memang beliau membuatnya seperti itu sehingga kami semua sudah terbiasa bila akan mengikuti kuliah di luar Indonesia, yang memang harapan beliau untuk terus menggali ilmu setinggi-tingginya.
Semester berikutnya saya diundang untuk mengikuti kuliah beliau di FISIP yang bertajuk “Kapitalisme”. Beliau mengajarkan ilmu baru kepada saya, bagaimana memandang dunia dari sisi yang berbeda.
Berkat beliau dan kuliahnya saya mendapat inspirasi dalam membuat skripsi. Beliau juga selama perjalanan penulisan skripsi banyak memberi masukan dan saran, meskipun beliau tidak dapat terlibat langsung dalam penyusunan akhir skripsi saya. Mungkin saya juga banyak mengganggu beliau dengan pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan saya.
Setelah lulus, saya langsung diajak untuk membantu beliau. Membantu beliau dalam memberi kuliah kepada junior saya. Pada suatu kesempatan, beliau menyuruh saya untuk menjelaskan sedikit skripsi saya. Tanpa persiapan apapun, saya memberi penjelasan dengan terbata-bata, tetapi beliau justru menyebut presentasi saya yang tanpa persiapan tersebut : lumayan. Menemani beliau seminar, membantu sedikit dalam penerbitan buku Saut, membantu beliau dalam penyusunan buku “Hubungan Indonesia-Cina” dan tentunya acara bulanan “lunch talk”.
Sekitar bulan September/Oktober 2009, beliau sempat bercerita mengenai pemeriksaan kesehatan yang beliau lakukan secara berkala. Saat itu, beliau mengatakan bahwa terdapat bintik-bintik kecil yang diduga adalah kanker. Akan tetapi belum dapat dipastikan karena hasilnya baru keluar pada bulan Desember 2009. Beliau sudah mulai mengkonsumsi makanan yang dapat mencegah kanker seperti Jamur Hitam, Buah Sirsak, dan lain-lain. Beliau juga mulai berobat ke Bandung setiap akhir pekan.
Awal tahun 2010, saya sudah sibuk dengan pekerjaan saya, sehingga saya sudah jarang berhubungan dengan beliau. Saat bulan Maret, saya menerima ajakan menjenguk beliau di Sunter tempat adiknya beliau. Tetapi ajakan tersebut saya tolak karena saya ada urusan lain. Kemudian pada hari Minggu, keluarga saya berencana untuk mengunjungi rumah saudara di Cempaka Putih. Pada kesempatan yang sama, saya menyempatkan diri untuk mampir ke Sunter. Saat itu, beliau terlihat begitu kurus dan terbatuk-batuk ketika berbicara. Tetapi beliau berkata sudah lebih baik daripada sebelumnya, yang tidak bisa bangun dari tempat tidur. Pertemuan itu hanya berlangsung kurang dari 1 jam.
Kemudian saya menghubungi beliau lagi ketika bulan Juli, ketika saya ingin berangkat menuju luar kota untuk bekerja. Tetapi beliau mengangkat telepon dari saya ketika sudah berada di Rumah Sakit Mitra Kemayoran, saya langsung sedih dan memberi semangat kepada beliau, meminta maaf belum sempat menjenguk.
Sekitar bulan Agustus 2010, saya mendapat cerita dari teman saya mengenai keadaaan Romo yang tidak dapat dijenguk dan dalam keadaan kondisi terendah. 3 November 2010, saya menyempatkan diri untuk menjenguk beliau. Saya langsung tidak bisa berkata apa-apa karena melihat keadaan beliau yang begitu lemah dan tirus. Saya Cuma bisa memberi semangat dan doa kepada beliau. 7 November 2010, saya terbangun dan melihat sms bahwa dosen saya tercinta telah tiada. Saya janjian dengan teman-teman untuk melayat, sesampainya di Carolus saya tidak berani melihat jasad beliau. Beliau begitu tenang dan ikhlas ketika kembali kepada Tuhan.
Romo terima kasih yang tidak terhingga untuk dirimu, beliau yang ingin hidup hingga 60 tahun, tetapi Tuhan berkehendak lain. Selamat Jalan dan Rest In Peace
*Tulisan ini didedikasikan untuk Romo Bowo, sayangnya tidak masuk dalam LA IWW yang peluncurannya pada tanggal 2 Februari 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar