Pada tanggal 6-7 November 2009, dilangsungkan sebuah pertemuan Pertemuan tingkat tinggi antara Jepang dan Negara-negara di wilayah aliran sungai Mekong. Pertemuan ini dihadiri oleh pemimpin dari Jepang, Vietnam, Thailand, Laos, Kamboja dan Myanmar. Pertemuan ini menjadi cukup menjadi menarik, karena Perdana Menteri Thein Sein dari Myanmar hadir dalam pertemuan tersebut.
Tetapi di sisi lain, pertemuan ini dilangsungkan pada saat krisis antara Thailand dan Kamboja memuncak. Kedua Negara ini terlibat perselisihan mengenai Kuil Preah Vihear yang masih belum usai hingga sekarang. Ditambah lagi dengan penetapan Thaksin Shinawatra sebagai penasihat ekonomi Kamboja. Perdana Menteri Hun Sen justru menjamin keamanan dari mantan perdana menteri Thailand tersebut. Hal ini tentu saja membuat Thailand meradang.
Jepang dalam pertemuan ini tidak mengundang Cina. Padahal Cina juga salah satu Negara yang berada dalam aliran sungai Mekong. Dalam hal ini terlihat bahwa pertemuan ini hanya mengkhususkan Negara yang berasal dari ASEAN. Apakah Jepang ingin mengembalikan pengaruhnya di kawasan ASEAN yang akhir-akhir ini diambil alih oleh Cina?
Jepang-Mekong
Hubungan antara Jepang dan Negara-negara di ASEAN umumnya telah terjalin lebih dari 30 tahun yang lalu. Kebijakan Luar Negeri Jepang terhadap ASEAN dimulai pada tahun 1977 dengan Fukuda Doctrine. Pada tahun 1987, Takeshita Doctrine diterapkan oleh Jepang. 10 tahun berikutnya, Hashimoto Doctrine menggebrak kebuntuan hubungan antara Jepang dan ASEAN. Sejak tahun 1997, Jepang kembali merajut hubungan dengan Negara-negara di ASEAN.
Sejak tahun 2007, Jepang mulai memfokuskan diri pada Negara-negara di wilayah aliran sungai Mekong. Ditandai dengan Japan-Mekong Partnership Program semakin mengeratkan hubungan Negara-negara wilayah sungai Mekong dan Jepang. Pada bulan Januari 2008, untuk pertama kalinya dilangsungkan pertemuan antara Menteri Luar Negeri. Pertemuan ini berlanjut ke pertemuan berikutnya di Siem Reap, Kamboja, pada 3 Oktober 2009. Tidak sampai sebulan, pertemuan antara Menteri Ekonomi dilangsungkan di Hua Hin, Thailand, pada 24 Oktober 2009. Tahun 2009 juga ditetapkan sebagai Mekong-Japan Exchange Year.
Jepang menetapkan tiga prioritas utama dalam hubungan ini. Pertama, pembangunan ekonomi berkelanjutan di wilayah aliran Sungai Mekong. Kedua, Memajukan hubungan antara Jepang dan Negara-negara di wilayah Mekong. Ketiga, pemenuhan potensial dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di wilayah Mekong.
Dalam Pertemuan Tingkat Tinggi di Tokyo, Jepang berjanji akan memberikan bantuan sebesar 500 miliar Yen selama tiga tahun ke depan. Reboisasi dan Manajemen Air di wilayah Mekong juga menjadi agenda bantuan Jepang. Jepang memang berniat membantu menciptakan “Satu Dekade Menuju Mekong Hijau” yang akan dimulai pada tahun 2010. Jepang juga membantu dalam pembangunan infrastruktur di wilayah Mekong, yakni infrastruktur untuk “Segitiga Perkembangan”, “Koridor Ekonomi Timur-Barat dan Selatan”.
Cina-Mekong
Sejak tahun 1992, Cina dan Negara-negara di wilayah Mekong telah membangun hubungan di bawah naungan Greater Mekong Subregion (GMS). Hubungan ini diprakarsai oleh Asian Development Bank (ADB). Berdasarkan hubungan ini diharapkan dapat menumbuhkan perekonomian di wilayah Mekong. Cina memainkan peranan dalam mengembangkan hubungan ekonomi regional di kawasan tersebut dan mengintegrasikan pembangunan antara Mekong dan wilayah barat daya Cina. Dengan demikian kemiskinan di wilayah Mekong dapat diberantas.
Cina turut membantu dalam pembangunan infrastruktur di wilayah tersebut. Pembangunan Jalur Rel Kereta Trans-Asia. Pembangunan jalan tol sepanjang 2.000 km dari Kunming ke Bangkok via Laos. 1.500 kilometer jalan tol juga dibangun melintas dari Da Nang, Vietnam menuju Myanmar melalui Laos dan Thailand. Cina juga membantu pembangunan stadion di Laos untuk persiapan SEA Games 2009.
Sedangkan Cina memperoleh keuntungan penuh dalam mendapatkan sumber daya alam dari Negara-negara wilayah Mekong. Cina menjadi investor utama di Myanmar, investasi Cina mencapai nilai AS$ 280 juta. Cina sebaliknya mendapatkan pasokan gas dan minyak bumi dari Myanmar. Cina juga mendapatkan keuntungan dari pembangunan bendungan di wilayah Mekong. Hal ini membantu kedua belah pihak menambah pembangkit listrik tenaga air.
Pertambangan dan kebutuhan akan kayu juga menjadi alasan Cina tetap menjalin hubungan baik dengan wilayah Mekong. Pertambangan Bauksit dan Alumunium di Kamboja, Laos dan Vietnam merupakan salah satu contohnya.
Cina-Jepang-Mekong
Kualitas hubungan antara Cina-Mekong dan Jepang-Mekong memiliki sisi positif dan negatifnya. Hubungan antara Cina dan wilayah Mekong terlihat lebih kuat karena mereka memulai hubungan lebih awal daripada Jepang. Tetapi Cina memberikan dampak buruk bagi wilayah Mekong. Hal ini disebabkan oleh pembangunan bendungan oleh Cina. Bendungan-bendungan ini di satu sisi memberikan pasokan energi yang besar, akan tetapi di sisi lain wilayah Mekong sering dilanda banjir akibat manajemen air yang kurang baik.
Sedangkan Jepang terlihat tertinggal dari Cina dalam hubungan wilayah Mekong. Jepang memanfaatkan sisi buruk yang disebabkan oleh Cina. Jepang membantu dalam reboisasi dan manajemen air , sehingga mewujudkan wilayah “Mekong Hijau”.
Kedua Negara besar ini memang terlihat bersaing dalam memperebutkan pengaruh di wilayah Mekong. Tetapi hal yang lebih penting adalah bagaimana Negara-negara di wilayah Mekong ini memanfaatkan persaingan tersebut untuk mengembangkan wilayahnya. Mengambil sisi yang positif dan membuang sisi yang negatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar